-->

Cerpen : Cinta Membuat Tak Berdaya

Cerita Sedih Islami Cerpen : Cinta Membuat Tak Berdaya

Di lorong rumah sakit itu, Khadijah, ibu Maryam, sengaja menunggu suaminya untuk membicarakan sesuatu.

”Sudah bertemu dengan anak itu?” tanya istrinya.

”Sudah,” jawabnya singkat.

”Sudah puas? Sudah puas membuat semua ini menjadi kacau?” istrinya berujar menyindir.

”Maksudmu? Kenapa kau marah padaku, Sayang?” ayah Maryam heran dengan sikap istrinya.

”Semua ini salahmu,” jawabnya.

”Salahku? Di mana letak salahku? Tindakanku sudah tepat, Khadijah. Anak itu tidak seiman dengan kita.” Ayah Maryam membela diri.

”Selama ini aku sudah cukup untuk diam, Ishak. Selama ini aku merasa sudah menjadi istri yang baik bagimu, selalu menuruti titahmu. Tapi kurasa sikapku tidak sepenuhnya benar, sebab aku juga punya hak untuk bicara dan ikut andil dalam menyelesaikan masalah keluarga kita.” Istrinya sedikit teriak.

”Apa yang salah? Jelaskan!” Sang suami tak kalah teriak.

”Kau terlalu mengekang Maryam. Dia jenuh dan merasa seperti robot yang harus menuruti semua maumu. Maryam punya jiwa, biarkan jiwanya mengisi kehidupan ini tanpa terlalu dikekang. Apa kau tidak sadar?

Coba hitung berapa banyak cinta yang kau beri dibanding amarah, kekangan dan keegoisanmu padanya? Mana yang paling banyak? Cinta atau keegoisanmu?” ucap Khadijah sambil menangis.

”Maryam membutuhkan cinta. Dan itu tidak dia dapatkan dari kita, sebab dia sendiri tidak pernah mengerti mana cinta atau keegoisan. Yang dia tahu hanyalah keegoisan kita. Hingga saat dia temukan seseorang yang peduli dan sayang padanya, seperti inilah jadinya. Kita yang seharusnya berintrospeksi diri,” lanjut Khadijah lagi masih dengan isaknya.

”Ini bukan masalah keegoisan, Khadijah. Bukan. Tapi ini masalah jalan hidupnya kelak, masa depannya di hadapan Allah nanti. Aku tahu aku bukan ayah yang baik. Aku sudah gagal menjadi ayah, aku tahu itu, tapi aku hanya ingin berada dijalanNya, Khadijah. Hanya itu.” Ishak ikut menangis.

Khaled yang mendengar perdebatan itu sebelum memasuki belokan bangsal tempat Maryam dirawat, hanya terdiam. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan kedua orangtua Maryam, tapi tak ayal ia ikut mendengarnya juga. Ia tidak tahu apa yang akan dia lakukan.

”Aku ingin anakku sembuh, Ishak. Aku ingin dia terlepas dari masalah ini. Aku tidak mau kehilangan anak lagi. Cukup sudah Asiyah yang pergi, aku tidak mau kali ini Maryam juga pergi karena keegoisan kita.” Khadijah terduduk lemas di kursi tunggu yang berada di dekatnya.

”Maksudmu, kau ingin agar aku mengizinkan hubungan cintanya dengan remaja Amerika itu?” tanya Ishak pada Khadijah.

Mendengar percakapan itu, hati Khaled terhenyak.
”Aku tidak tahu, Ishak. Aku tidak tahu. Yang jelas aku tidak ingin Maryam pergi.” Khadijah semakin kalut.

”Jangan salahkan aku, Khadijah. Kumohon, jangan. Kau tahu betapa aku sangat mencintai Maryam. Kau juga tahu betapa aku sangat terpukul ketika Asiyah meninggal.” Ishak memohon, memegang erat tangan istrinya, tapi hatinya tetap kukuh, ia tidak akan pernah mengizinkan David memiliki Maryam. Tidak akan pernah.

Khaled masih terdiam di balik dinding belokan lorong itu, air matanya menetes.

***
”Pak.. Bu..! Maryam..! Sesuatu terjadi pada Maryam..!” Teriak Anggel yang tiba-tiba menghampiri dengan nafas tersengal-sengal, sejak tadi dia mencari ayah dan ibu Maryam.

”Ada apa dengan Maryam?” ayah Maryam bertanya ikut panik.

”Kondisinya semakin lemah, ia seperti dalam keadaan sekarat, sekarang dokter sedang membantu pernafasannya.” Anggel bercerita sambil terisak.

”Maryam....!” Ayah Maryam panik, mereka langsung berlari ke kamar rawat inap Maryam.

Khaled yang sejak tadi mendengar pembicaraan mereka, tak kalah panik. Ia ikut berlari ke arah kamar rawat inap Maryam.

Seorang dokter dan dua perawat sedang menangani Maryam. Selang oksigen telah terpasang pada rongga hidungnya. Dua alat yang dipegang oleh dua tangan dokter itu diletakkan di dada Maryam. Saat alat itu ditempelkan di dada Maryam, tubuhnya seakan terangkat dengan hebat.

”Maryam... Maryam... Ada apa denganmu, Nak?” teriak Ibunya.

”Maaf, kami mohon semua keluar dulu.” Salah seorang perawat menyuruh mereka untuk keluar.
Sambil bersandar di bahu suaminya, Khadijah berjalan keluar dari kamar Maryam dengan terisak. Khaled dan Anggel ikut di belakang mereka.

Pintu kamar itu lalu tertutup rapat. Khaled dan Anggel terdiam menyimpan kesedihan yang mendalam. Pandangan mereka terus tertuju pada pintu kamar Maryam yang berwarna putih itu, berharap sang dokter segera keluar dan mengabarkan bahwa Maryam baik-baik saja.

”Tenanglah, istriku, Maryam akan baik-baik saja. Kita doakan saja.” Ayah Maryam mencoba menenangkan istrinya.

Ayah dan ibu Maryam masih menunggu di depan pintu kamar rawat inap Maryam. Mereka tak henti berdzikir dan berdoa agar Maryam kembali pulih, sementara Khaled terus melantunkan ayat demi ayat untuk Maryam.

Anggel menyusut air matanya. Ia teringat kejadian sebelum Maryam sekarat. Saat itu Anggel tengah sendirian menungguinya, sementara kedua orang tuanya masih di luar, Khaled pun tak ada entah ke mana. Anggel melihat tubuh Maryam bergerak-gerak hebat, lalu tiba-tiba membuka matanya dan berteriak memanggil-manggil nama David.

“Maryam, kau kenapa?” tanya Anggel panik kala itu.

“Aku bertemu David. Aku bertemu dia. Dia mengajakku pergi, Anggel!” Ucap Maryam yang sudah sadar saat itu.

“Pujilah nama Tuhanmu, Maryam, dan tenangkan dirimu,” kata Anggel mengusap keningnya.

“Ambilkan aku kertas dan pena, Anggel. Aku ingin menulis surat untuk David,” pinta Maryam.
Anggel mengambil buku dari tas sekolahnya.

“Tuliskan untukku, Anggel,” pinta Maryam lagi.

”Baiklah, akan aku tuliskan untukmu,” jawab Anggel.

Maryam mulai berkata sesuatu dan Anggel menuliskannya di atas kertas itu,
David...
Apa kabarmu? Aku di sini baik-baik saja.
Sampai di sini, Anggel langsung menangis. Kemudian ia cepat menyusutnya, tidak ingin Maryam mengetahuinya. Lalu ia kembali menulis saat Maryam melanjutkan kalimatnya.
Adakah kau merindukan aku?
Jalinan kisah telah kita lalui penuh tangisan, tapi aku bahagia, Dave.
Bahagia telah mengenalmu,
Bahagia meski baru sehari kurasakan ketika bersepeda denganmu.
Bersepeda mengelilingi kota New York bersamamu.
Belum pernah aku merasakan kehebatan cinta sedahsyat itu.
Hidup di rumah membuatku menderita, Dave. Kadang aku membenci keadaan,
Kadang aku ingin seperti burung yang terbang bebas tanpa ada yang mengekang,.
Tapi meski hidup bebas, burung-burung itu selalu memuji nama Tuhan tiada henti.
Aku tahu karena Tuhan mengabarkan bahwa seluruh makhluk berdzikir pada-Nya.
Aku ingin seperti itu...
Aku tak mau melupakanmu lagi, Dave.
Melupakanmu membuatku sakit,
Membuat dadaku sesak dan lemah tak berdaya...
Maryam semakin terisak, sementara Anggel terus menulis sambil mengelap air matanya.
Aku ingin selalu mencintaimu
Meski perbedaan menghalangi kita
Meski kita tak akan bisa saling memiliki
Dan meski raga ini telah menjadi milik orang lain...
Tahukah kamu apa yang kurasakan ketika aku membiarkan cinta ini tumbuh?
Aku bahagia, sangat bahagia...
Dalam ketidak sadaranku,
Aku dengar kau memanggilku, Dave
Mengajakku berkeliling ke sebuah tempat di mana aku belum pernah melihatnya,
Kulihat kau mengenakan sutera hijau, Dave.
Aku ingat dari kelembutan sutera itu
Aku masih bisa merasakannya.
Kau ingin mengajakku hidup di tempat itu
Bagai Adam dan Hawa.
Hanya berdua...
Tapi seseorang menarik tanganku untuk membawaku pergi.
Aku tidak mau berdua di tempat itu, Dave.
Maryam terisak lagi.
Aku sedih.
Bawa aku, Dave.
Bawa aku ke tempat itu lagi.
Aku tidak mau di sini...
Aku tak mau sedih memikirkanmu lagi...
Aku tak mau hidup tanpamu, Dave.
Aku tak mau bertemu ayahku lagi.
Menyadari keberadaannya membuatku semakin lemah karena dia tak akan pernah merestui kita.
Aku mencoba mengikuti ajakan Khaled untuk belajar lebih mencintai Tuhan dibanding yang lain.
Aku sudah mencoba berdzikir dan memuji Nama-Nya, tapi tetap tak bisa.
Aku ingin pergi dari dunia ini jika di alam sana aku bahagia bersamamu.
Jemput aku, Dave.
Aku menunggumu di sini
Aku menunggumu...
Mungkin kau bisa menjemputku dengan sepedamu, membawa anjing kesayanganmu dan aku akan membawa Zahara, kucing putihku itu.
Kau pernah bilang bahwa suatu saat nanti kita akan hidup bersama dengan hewan peliharaan kita.
Iya, di lapangan basket itu
Aku selalu ingat kata-katamu...
Buktikan, Dave!
Buktikan kata-kata itu jika kau benar-benar sayang padaku.
Aku tak mau seperti kupu-kupu yang singkat hidupnya menikmati indahnya bunga-bunga di taman gerejamu.
Aku tak mau seperti pelangi yang hanya sekejap memberikan warna indahnya lalu hilang.
Aku tak mau seperti pohon di musim gugur yang menerbangkan dedaunannya lalu tumbuh lagi di musin semi.
Aku ingin seperti bunga Edelweish
Yang takkan layu meski dipetik.
Aku ingin seperti benua antartika yang salju-saljunya tak pernah mencair.
Aku ingin seperti hutan tropis yang pepohonannya selalu hijau tak kenal musim gugur ataupun semi.
Aku ingin bersamamu selalu... dan selamanya...
Bawa aku pergi, Dave!
Kumohon...
Jemput aku!
Kita akan bersepeda jauh ke sana,
Menembus langit,
Menembus bintang-bintang,
Meninggalkan dunia ini
Ya, meninggalkan dunia ini...
Selamanya...
 Anggel menangis hebat. Sementara itu, Maryam semakin lemah. Ia jadi susah bernafas, kemudian pingsan dan tak lagi sadar hingga sekarang.

Bersambung ..

*Anda berada di Halaman 15
Untuk membaca part selanjutnya anda klik daftar isi dan pilih cerita yang selanjutnya akan anda baca.

Cerpen : Cinta Membuat Tak Berdaya