-->

Cerpen : Bawa Aku Pergi Bersamamu

Cerita Islam Baper, Cerpen : Bawa Aku Pergi Bersamamu

Maryam terbaring lemah di kasurnya. Selera makannya menurun. Berkali-kali ibunya membujuknya, namun Maryam tetap menolak. Tiap hari yang dia pikirkan hanya David dan David.

Anggel datang ke rumah Maryam untuk menghiburnya. Ia tidak tega melihat Maryam terus-menerus sedih dan larut dengan masalah hatinya.

“Maryam, aku membawa kaset musik balet. Kau mau tahu betapa hebatnya saat aku menari balet? Aku sudah kursus sejak sekolah dasar, kau ingin lihat?”

Maryam mencoba tersenyum meski masih terlihat memaksa.

“Boleh, coba aku lihat.”

Anggel memutar kaset itu dan mulai melakukan gerakannya dengan anggun namun tetap terlihat lincah. Namun, Maryam terkesan hanya basa-basi memperhatikannya.

“Please Maryam, bilang padaku apa yang harus aku lakukan agar kau terhibur dan stop melankolis seperti ini?” Anggel menghentikan gerakannya dan mematikan musik seketika.

“Aku tidak tahu, Anggel. Aku tidak bisa lari dan tak tahu bagaimana caranya untuk menghentikan pikiran ini.” Maryam menghela nafas berat.

“Look at yourself! You look so awful and messed up (Lihat dirimu! Kau begitu menakutkan dan berantakan).. Kau mengabaikan pola makanmu hingga kurus dan tak terurus begini. Aku mengkhawatirkanmu, Maryam!” Dipegangnya pundak Maryam.

“Entahlah..”

“Bisa kau tinggalkan aku sendiri sekarang, Anggel? Aku ingin sendiri dulu saat ini,” lanjut Maryam lagi.
Tak ada pilihan lain untuk Anggel selain membiarkan sahabatnya sendiri untuk sementara. Mungkin memang Maryam butuh waktu untuk menenangkan diri.

***
Jardon sengaja datang ke tempat David dengan menjinjing setumpuk buku.

”Ini aku bawakan untukmu sesuatu.” Diletakkannya tumpukan buku yang sedari tadi dibawanya di atas kasur David. Beberapa buku Motivasi; ada Cara Menghilangkan Stress, Bangkit dari Pikiran yang Mengancam, Cara Mudah Menghilangkan Depresi Cinta, 10 Trik Melupakan Cinta, hingga buku Chicken Soup for the Soul.

David hanya melirik sekilas tumpukan buku di sampingnya dan tetap melanjutkan lamunannya.

”Ayolah sobat, aku benar-benar kehilangan dirimu. This is not The Great David that I’ve known before (Ini bukan David yang kukenal sebelumnya).” Ada kekecewaan di mata Jardon melihat sahabatnya terus menggalau seperti itu.

”Ini buku-buku bagus buatmu. Ayo kita praktikkan agar kau lepas dari derita cinta ini, Kawan. Ini, coba lihat, ini buku Sepuluh Trik Melupakan Cinta. Mari kita bahas dan praktikkan, Dave!” Jardon begitu antusias, namun David tetap tak bergeming, menoleh pun tidak.

”Dave... Hello... Are you here with me? Dya really hear me or not? (Kau memperhatikanku atau tidak?) Aku benci melihatmu seperti ini. Bangkitlah, Dave! Jangan seperti ini terus!” Kesabaran Jardon sudah di ubun-ubun.

”Jardon, can you leave me alone? (Jardon, bisa kau tinggalkan aku sendiri?) Aku mau sendiri. Jangan ganggu aku dulu. Please...” Pintanya setengah memohon.

”Fine, then. Okey. Terus saja seperti ini. Terus saja kau menangis, melamun, menangis, melamun, lalu ma.. ti.. Terserah kau saja. I’m giving up (Aku menyerah)!” Jardon kesal setengah mati. Ditinggalkannya David dengan kesendiriannya.

***
Maryam sedang tertekan oleh perasaannya sendiri. Rasa rindunya pada David benar-benar tak bisa ia tahan lagi. Perlahan ia bangkit dari tidurnya, mencoba berlari walau tak punya cukup tenaga. Ya, tubuhnya tak berdaya karena beberapa hari perutnya tak menyentuh asupan makanan. Dengan tertatih, Maryam berlari keluar dari kamarnya. Ia sedang berusaha kabur dengan mengendap-endap. Ada rasa takut akan ketahuan oleh ayahnya, tapi akhirnya ia berhasil keluar. Ia terus berlari dan berlari entah kemana.

Di tempat berbeda, David juga melakukan hal yang sama. Ia bangkit dari tidurnya, dan dalam kondisi berantakan, ia berusaha untuk berjalan lalu keluar dari asrama gereja. Akhirnya ia berhasil keluar tanpa sepengetahuan pihak gereja dan ayahnya. Ia terus berlari tanpa tujuan.

Maryam terlunta-lunta di jalanan. Ia terus berlari, diabaikannya udara dingin dan angin kencang yang menusuk-nusuk kulitnya malam itu. Ia menuju ke sesuatu tempat.

”Aku rindu kamu, Dave. Aku rindu. Aku ingin bertemu denganmu,” bisik hati Maryam yang masih terengah-engah dalam kelemahannya.

Di tempat berbeda, David pun berlari menelusuri jalanan kota. Ia juga menuju ke suatu tempat.
”Aku merindukanmu, Maryam. Aku merindukanmu. Aku ingin bertemu denganmu,” bisik hati David dengan terengah-engah.

Jalanan jauh telah Maryam tempuh dengan berlari. Begitu juga dengan David. Tanpa diduga oleh keduanya, di halte bus mereka bertemu; halte di mana Maryam dan David biasa bertemu. Maryam terhenti sesaat ketika didapatinya sosok David sedang berlari dari kejauhan menuju ke arahnya. David tak kalah terkejut begitu melihat Maryam sedang berdiri tak jauh dari hadapannya.

”Ikut aku, Maryam. Kita pergi saja, aku tak bisa jika harus hidup tanpamu,” ucap David dengan memohon.

”David..”

”Aku tak biasa berpisah denganmu, Maryam. Aku tak sanggup,” lanjut David lagi.

”Aku juga, Dave. Tapi ini tidak mungkin untuk dilakukan. Ini tidak mungkin.” Maryam ragu dengan ajakan David.

”Kita pergi saja, Maryam. Kita pergi, dan hanya ada kita berdua. Aku janji tidak akan menyentuhmu. Aku akan selalu menjaga kehormatanmu, asal kita selalu bersama. Aku tidak bisa jika kau harus menjadi milik orang lain, Maryam.” Airmata David tumpah juga di hadapan Maryam.

”Baiklah, bawa aku pergi ke manapun kau mau.” Maryam akhirnya tidak punya pilihan lain.

”Kau bersedia, Maryam? Sungguh kau bersedia?” David seakan tidak percaya dengan jawaban Maryam untuk menyanggupi ajakannya. Dan tiba-tiba saja David tersungkur di hadapan Maryam. Ia pingsan karena kelelahan.

”Dave.. David.. Bangun, Dave! Kau bilang kau mau membawaku pergi. Bangunlah, Dave! Bangun.. Tolong.. Tolong..” Di tengah kepanikannya, Maryam mencoba mencari pertolongan, tapi ia sendiri tak punya cukup tenaga untuk berjalan. Pandangannya mulai kabur, matanya berkunang-kunang, kepalanya serasa dihantam godam. Perlahan yang ia lihat hanya gelap. Ia tidak bisa melihat apapun lagi. Ia terduduk kemudian pingsan di samping David.

***
Mata David terbuka perlahan. Ia melihat ke sekelilingnya, sepertinya ia sedang berada di sebuah rumah yang sama sekali asing. Dirabanya keningnya, ada handuk kecil yang terasa dingin. Seseorang telah mengkompres keningnya.

”Kau sudah sadar?” ucap seorang wanita tua yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Entah dari mana datangnya.

”Di mana aku?” tanya David yang masih berbaring lemah di sofa empuk itu.

”Kamu aman sekarang, kamu sedang berada di rumahku. Tadi kutemukan kamu sedang pingsan di jalanan. Sopirku yang menggotongmu.” Wanita tua itu menjelaskan.

”Maryam... Maryam... di mana Maryam?” tanya David panik. Ia mencoba untuk bangkit, tapi ia masih tak punya daya.

”Maksudmu gadis yang pingsan bersamamu? Dia ada di sini. Tapi kondisinya masih lemah, dia ada di kamarku. Sepertinya dia harus dibawa ke dokter,” jawab wanita tua itu.

”Tolong bawa aku ke tempatnya, aku ingin melihatnya!” Pinta David, matanya berkaca-kaca.

”Baiklah...” ucap wanita tua itu lalu menuntun David menuju kamarnya. Saat tiba di sana, ia lihat Maryam terbaring lemah.

”Maryam...” Didekatinya Maryam yang masih tertidur.

Wanita tua itu hanya diam meski sebenarnya dia masih penasaran dengan mereka berdua.
Tiba-tiba mata Maryam mengerjap, jari tangannya bergerak-gerak.

”David...” lirihnya.

”Aku di sini, di sampingmu...”

”Apa kau sudah membawaku pergi? Di mana kita sekarang?” tanya Maryam.

”Iya, aku sudah membawamu pergi, Maryam. Kita aman sekarang,” ujar David meyakinkan. Wanita tua itu terlihat iba melihat kondisi kedua anak remaja yang berada di rumahnya tersebut, tapi ia masih diam tak berkomentar.

”Aku haus...” Ucap Maryam.

”Sebentar...” Wanita tua itu langsung mengerti. Ia pun keluar untuk mengambil air putih.

Mata David berkaca-kaca, ia tak percaya akan senekat ini kabur dari rumah dan membawa Maryam bersamanya.

”Minumlah...” Wanita tua itu memberikan dua gelas air putih yang besar.

David mengambilnya dan memberikan segelas pada Maryam. Maryam mencoba untuk bangkit tapi ia masih tidak kuat untuk sekedar mengangkat kepalanya.

”Tuntunlah dia agar bisa sedikit duduk.” Pinta wanita tua itu pada David.

”Aku sudah berjanji tidak akan menyentuhnya. Bisa tolong kau bantu dia untuk minum? Aku mohon,” pinta David.

Wanita tua itu sedikit bingung. Diambilnya gelas itu dari tangan David dan membantu Maryam untuk duduk lalu meminumkannya pada Maryam.

”Dia harus dibawa kerumah sakit, kalau tidak keadaannya akan semakin memburuk,” ucap wanita tua itu.

”Aku tidak mau... aku mau di sini saja... jangan bawa aku ke rumah sakit, Dave. Aku ingin bersamamu. Aku takut nanti ayahku akan menemukanku. Aku tidak mau melihatnya lagi, Dave.” Maryam menangis histeris.

”Tapi kondisimu tidak baik, Maryam.” David mencoba menenangkan, ia sedih.

”Aku sama sekali tidak keberatan kalian berada di sini. Tapi bagaimana dengan kondisimu? Apa sebaiknya kupanggilkan dokter untuk ke sini?” wanita tua itu berinisiatif.

”Tidak usah, aku akan baik-baik saja. Terima kasih.” Maryam masih menolak.

”Aku keluar sebentar.” David beranjak dari sisi Maryam.

”Jangan pergi, Dave. Kau di sini saja, temani aku,” pinta Maryam.

”Aku hanya keluar sebentar, nanti aku pasti kembali.” Dilemparkannya senyum agar Maryam merasa tenang.

”Dave, jangan tinggalkan aku!” Maryam masih keberatan.

”Aku ingin menelepon Jardon. Aku harus minta pertolongannya, Maryam, agar dokter bisa ke sini, agar kondisimu membaik.”

”Don’t. Please, don’t go! (Jangan. Kumohon, jangan pergi)”

David tetap bersikeras keluar, ia pamit pada wanita tua itu.
Malam itu, udara di luar sangat dingin menusuk kulit. David mencari telepon umum, setelah menemukannya ia memencet beberapa digit.

”Hello..” Suara di seberang sana.

”Jardon, it’s me, David.”

”Dave, di mana kau? Ayahmu meneleponku, katanya kau kabur dari rumah. Keadaan sedang gawat sekarang. Orang suruhan ayah Maryam juga datang ke gereja ayahmu. Maryam juga kabur dari rumahnya, apa kau bersama Maryam?” Jardon memberondongnya dengan pertanyaan.

”Iya, aku bersama Maryam sekarang.”

”Kau gila, Dave. Apa yang sedang kau lakukan ini? Berhentilah berbuat nekat. Kau akan mengacaukan semuanya.” Jardon tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya yang tidak biasa itu.

”Aku tidak mau berdebat saat ini, Jardon. Yang aku butuhkan saat ini adalah bantuanmu,” pinta David.
”Baiklah, apa yang bisa kubantu?” Jardon luluh juga.

”Saat ini Maryam dan aku berada di rumah seseorang. Tadi kami berdua pingsan di jalanan, lalu ada wanita tua menyelamatkan kami. Kondisi Maryam sangat lemah, dia harus dibawa ke dokter. Kau bisa meminjamiku uang, Jardon?”

”Oh My God. Sekarang katakan di mana posisimu?” tanya Jardon panik.

David memberitahukan alamatnya, tapi tiba-tiba saja seseorang menarik kerah baju David dari belakang.

”Dave.. David.. Hello..!” Teriak Jardon panik setelah tak ada suara lagi dari David di seberang sana.
Gerombolan lelaki berbaju hitam-hitam mengelilingi David, seseorang di antaranya menarik kerah bajunya hingga lehernya kesakitan.

”Di mana Maryam?” tanya lelaki berambut cepat.

”Dia tidak bersamaku!” Teriak David. Dia ketakutan.

”Cepat katakan di mana kau sembunyikan Maryam?!” bentak lelaki berambut cepak itu, lalu menampar muka David. David mencoba melawan sekuat tenaga dengan mendorong lelaki itu agar menjauh dari tubuhnya. David berhasil bebas dari cengkeramannya. Ia mencari-cari alat untuk perlawanan, lalu ditemukannya sebuah balok. Ia raih balok itu dan mencoba menantang gerombolan lelaki kekar berbaju hitam-hitam yang ada di hadapannya.

Lelaki berambut cepak yang tersungkur tadi mulai emosi. Lalu tiba-tiba semuanya menyerang David tanpa ampun. Mereka memukulinya, tendangan demi tendangan mengenai tubuhnya. Satu lawan banyak. Jelas tidak seimbang. Ia tersungkur babak belur, hingga hidungnya mengeluarkan banyak darah.

”Katakan di mana kau sembunyikan Maryam?” tanya lelaki itu lagi seakan tidak mau menyerah.

”Dia tidak bersamaku.”

Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka mengeluarkan pistolnya lalu mengarahkan moncongnya tepat di kening David.

”Katakan padaku di mana kau sembunyikan Maryam?” bentak orang itu semakin keras.
David ketakutan, ia gemetar hebat ketika melihat pistol itu.

”Dia, dia berada di rumah itu!” Tunjuk David. Lalu mereka bergegas pergi menuju rumah yang ditunjuk David. Pandangan David semakin gelap. Tendangan demi tendangan yang baru saja diterimanya membuat tubuhnya semakin tak berdaya. Ia tidak sadarkan diri.

Wanita tua itu terkejut begitu melihat sekelompok orang yang berpakaian hitam-hitam tiba-tiba memasuki rumahnya dengan kasar.

”Di mana gadis itu bersembunyi?” tanya si rambut cepak.

”Kalian siapa?” wanita tua itu panik.

”Dia anak dari majikan kami, kami harus membawanya pulang.”

”Dia... dia ada di kamarku...” Agak gugup wanita tua itu menjawab.

Tanpa membuang waktu, mereka menuju kamar yang ditunjukkan wanita tua itu.

”Dave..?” Maryam kaget saat segerombolan pria memasuki kamarnya.

”Kami harus membawamu pulang.”

”Aku tidak mau pulang. Di mana David? Dave.. tolong.. tolong aku..” Maryam meronta saat lelaki kekar itu mencoba menggendongnya. Percuma, tenaga lelaki itu terlalu kuat untuk dilawan. Maryam pun pingsan dan seketika itu juga lelaki kekar itu membawanya pergi.

Bersambung..

*Anda berada di Halaman 11
Untuk membaca part selanjutnya anda klik daftar isi dan pilih cerita yang selanjutnya akan anda baca.

Cerpen : Bawa Aku Pergi Bersamamu