-->

Cerpen : Saat Semua Berubah

Cerpen sedih islam

Dua tahun kemudian.

Kota Dubai begitu terik, matahari seumpama bola api raksasa yang membara di petala langit. Di sebuah apartemen, dua pengantin sedang duduk menghadap seorang penghulu berwajah arab. Ruangan nampak begitu ramai, hiruk-pikuk menyaksikan dua orang anak manusia yang akan mengikat janji.

Maryam, mempelai wanita, terlihat sangat anggun mengenakan baju pengantinnya. Sementara itu, Khaled, sang mempelai pria, tersenyum penuh arti di sampingnya. Ijab qabul telah dikukuhkan di antara keduanya. Khaled bergetar saat Maryam mencium tangannya dengan takzim. Pengantin nuda itu berseri-seri bahagia, sementara Maryam masih menyisakan kesedihan yang tak pernah lepas selama dua tahun berpisah dengan David Stuart.

Di kamar itu, Khaled duduk di atas permadani beludrunya yang empuk, sementara Maryam duduk memaku di sisi ranjang, membelakangi Khaled.

”Bolehkah aku menyentuhmu?” tanya Khaled gemetar.
Maryam menunduk, ia menangis hebat.

”Maryam, kau kenapa?” tanya Khaled khawatir.

”Khaled, maukah kau sedikit bersabar menungguku sampai aku benar-benar melupakan David? Kalau aku benar-benar melupakannya, aku baru akan memberikan diriku seutuhnya.” Maryam menangis deras.

Khaled terdiam. Ada rasa kecewa di hatinya.

”Please...” pinta Maryam.

”Baiklah, Maryam. Aku akan menunggumu, sampai kau benar-benar siap menerimaku sebagai suamimu,” jawab Khaled pasrah. Ada mendung di matanya.

”Sekarang tidurlah. Kau pasti lelah, bukan? Jangan khawatir, aku tidak akan menyentuhmu. Percayalah!” Ujar Khaled lagi.

Maryam membaringkan tubuhnya dengan sedikit canggung. Khaled menyelimutinya, kemudian memutuskan untuk tidur di sofa yang ada di kamar itu.

***
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Khaled menunggu Maryam untuk bisa menyentuh tubuhnya. Namun Maryam tak juga mengizinkan Khaled untuk menyentuhnya. Hingga suatu hari, Khaled duduk di samping Maryam.

”Maryam, aku menyerah. Hari ini... Ya, tepat hari ini.. Aku... Aku... Aku akan menceraikanmu...”
Bagai tersengat listrik, Maryam kaget luar biasa mendengar ucapan Khaled yang tiba-tiba itu.

”Khaled, aku mohon jangan kau lakukan itu. Saat ini juga aku siap jika kau ingin menyentuhku.”

”Aku sudah mentalakmu. Sudah terlambat, Maryam. Setelah ini aku akan mengantarmu pulang. Aku ragu kau akan bisa menerimaku, sebab sejatinya kau masih belum ikhlas untuk menikah denganku.” Suaranya bergetar.

”Maafkan aku, Khaled. Maafkan aku.” Maryam sesenggukan.

Hari itu juga Khaled mengantar Maryam ke kediaman orang tuanya. Ayah dan ibu Maryam tak kuasa menahan tangis saat mengetahui kehidupan rumah tangga anak mereka berakhir dengan perceraian. Ada penyesalan yang mendalam di hati mereka, sebab tak bisa dipungkiri, pernikahan itu karena ego mereka berdua, bukan murni kemauan Maryam.

Kini mereka lebih bersikap lembut pada Maryam, seakan ingin menebus rasa bersalah. Apapun keputusan Maryam, ayah dan ibunya akan menurutinya, menerima dengan lapang dada.

Seperti hari itu, saat Maryam meminta pada ayahnya untuk diizinkan melanjutkan kuliah, ayahnya langsung merestuinya. Maryam memutuskan untuk mengambil Teaching of English, ia ingin menjadi guru suatu saat nanti, di sebuah universitas di Dubai. Maryam ingin menikmati hari-harinya di bangku kuliah.

Waktu demi waktu berjalan cepat, tak terasa empat tahun lebih Maryam mengenyam pendidikan di Universitas itu. Dia akhirnya bisa mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Dia banyak mencari informasi tentang dunia pendidikan dan mendapati sebuah informasi yang menawarkan kesempatan untuk menjadi tenaga pendidik di sebuah kota di Amerika. Hatinya bergetar membaca nama negara itu. Ingatannya tentu berpulang pada kenangan yang selama ini dia simpan dengan rapi dalam hati dan pikirannya. Dia tidak mungkin lupa begitu saja tentang hal itu.

Lalu, demi meneguk kembali kenangan-kenangan masa lalunya, diam-diam Maryam mengirimkan biodatanya di lembaga pendidikan itu via email.

Sebulan lamanya ia menunggu balasan dengan cemas. Dan hari itu, penantiannya selama sebulan lebih ini tidak sia-sia. Maryam memperoleh kesempatan itu. Ya, dia akan terbang ke negeri Uncle Sam untuk yang kedua kalinya.

”Aku mendapat kesempatan untuk menjadi tenaga pendidik di Amerika, Ayah. Apakah kau merestuinya?” Ditemuinya ayahnya yang saat itu tengah santai bercengkerama dengan ibunya di ruang keluarga. Maryam meminta izin kepada ayahnya dengan hati-hati. Hatinya benar-benar berharap ayahnya akan mengizinkan.
Sesaat ayahnya berdehem, membenahi letak duduknya. Dia pandang Maryam dengan serius.

”Pergilah jika kau memang ingin mengejar cita-citamu di sana, Nak. Yang ayah inginkan cuma satu, di manapun kau berada, tetaplah menjunjung tinggi cintamu pada Allah. Jadikan Dia di atas segala-galanya. Ayah percaya padamu, Anakku.”

Maryam bersimpuh di hadapan ayah dan ibunya. Dia menangis tergugu, memohon restu pada mereka berdua. Direngkuhnya tubuh anak semata wayang mereka itu dengan haru. Hari itu terasa seperti hari terakhir bagi mereka untuk bisa bersama.

Cerpen : Saat Semua Berubah