-->

Cerpen : Perbedaan Yang Tak Mungkin Disatukan

Cerpen Islam dan Kristen Cerpen : Perbedaan Yang Tak Mungkin Disatukan

Ayah Maryam terduduk sendirian di salah satu bangku di koridor rumah sakit dengan lesu. Ia masih memikirkan kondisi Maryam yang masih belum siuman dari pingsan, sementara sang ibu menemani Maryam sambil tak henti bibirnya melantunkan ayat-ayat Al-qur'an untuknya.

Seorang Pastur datang dan mengambil duduk di samping ayah Maryam. Sang Pastur melempar senyum.

“Sedang menunggu keluarga yang sakit?” tanya ayah Maryam basa-basi, mencoba memulai obrolan.

“Anak saya... dia sakit keras. Namun yang paling aneh adalah sakit cintanya. Awalnya kondisinya membaik, tapi gara-gara cintanya itu dia sakit lagi,” jawab pastur itu.

“Anak saya juga, penyakitnya juga bukan penyakit biasa kata dokter.” Ayah Maryam berbagi kesah yang sama.

“Anak saya sedang jatuh cinta pada seseorang, gadis itu tidak seiman dengan anak saya. Cintanya sungguh besar, padahal dia masih remaja, tapi sudah seserius itu dalam mencintai. Remaja zaman sekarang semakin aneh. Dokter yang merawatnya bilang bahwa obatnya hanya satu, cinta itu. Tapi biar bagaimanapun mereka tidak akan bersatu.” Pastur itu menghela nafa dalam. Ia merasakan beban di hatinya cukup berat.

“Masalah anak anda sama dengan masalah anak saya. Dokter juga bilang begitu. Ini bukan sekedar sakit secara fisik, tapi psychosomatic,” ucap ayah Maryam yang tidak menyangka bahwa ada orang lain yang memiliki masalah yang sama persis dengan dirinya. Ia merasa tidak sendiri menghadapinya. Ia merasa sedikit lega bisa berbagi.

“Saya tidak mengerti bagaimana caranya agar anak saya bisa kembali pulih, saya sangat kasihan melihatnya.” Pastur itu menggeleng lemah.

“Saya sendiri belum bisa menemukan solusi untuk permasalahan ini. Andai saja lelaki itu seiman, mungkin saya ikhlas untuk menikahkan mereka,” ucap ayah Maryam tak kalah bingung.

“Saya juga begitu. Tapi untuk keimanan, itu sudah masalah pelik.”

Mereka lalu sama-sama terdiam, sibuk memikirkan permasalahan anak mereka masing-masing.

“Senang berbagi cerita dengan anda, Tuan. Saya harus kembali ke ruang inap lagi. It’s a pleasure to meet you here. (Senang bertemu denganmu di sini.)” Ayah Maryam menjabat erat tangan sang pastur.

“Yeah, me too. Saya doakan semoga anak anda cepat sembuh.” Ayah David tak kalah erat menyambut jabatan di tangannya.

“Terima kasih, saya juga mendoakan anak anda. Sampaikan salam saya untuknya,” ucap ayah Maryam sambil tersenyum.

“Salam juga untuk anak anda, Tuan.” Sejurus kemudian pastur itu berlalu meninggalkan ayah Maryam.

***
David terpekur dalam lamunannya. Sejujurnya ia masih memendam rasa cemburu terhadap Khaled, namun sekuat tenaga ia tahan. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri, pada keadaan yang tidak bersahabat, pada persoalan yang menguras tenaga dan pikirannya akhir-akhir ini. Tangannya mengepal memukuli bantal lalu dihempaskannya hingga jatuh ke lantai, mencoba melampiaskan kekesalannya. Sejurus kemudian ia menangis sesenggukan. Yang David pikirkan hanya satu bahwa orang yang dia cintai akan menjadi milik orang lain, dan ia baru saja mengenal orang itu.

“Aku tidak mau Maryam menjadi milik orang lain. Aku tidak rela!” Jerit David di tengah isaknya.

***
Khaled masih melamun di kursi taman itu, ia ambil sebuah catatan kecil dan pena yang ia selipkan di kantong saku kemejanya, lalu mulai menuliskan sesuatu di atasnya. Sebuah syair yang ia tujukan untuk Maryam. Selama ini, Khaled begitu senang menuangkan perasaannya lewat bait-bait aksara, dan entah sudah berapa lembar syair yang berhasil ia buat untuk Maryam, sejak pertemuan keluarga itu.
Mungkin aku terlalu bodoh untuk mengerti
Mungkin aku tak sengaja juga menyakiti
Andai kau tahu isi hatiku
Andai kesempatan itu datang padaku
Sekarang mustahil bagiku
Bahkan menyentuh bayangmu, aku tak mampu
Sekarang aku terpuruk dalam jurang keraguan
Dan cinta ini jadi sesak dalam dadaku
Aku tau cinta ini fatamorgana bagimu
Tapi biarkan cinta ini aku miliki
Biarkan cinta ini menjadi bebanku
Aku tak peduli
Meski menghambat jalanku
Aku tau mencintaimu adalah tak pasti...
Setetes airmata mengaburkan jejak tinta yang menghiasi kertasnya.

***
David masih larut dalam kesedihan. Hatinya lirih berbisik dalam isak tangis.
Maryam...
Mengejarmu ibarat mengejar embun untuk mendapatkan tetesnya di udara, kau ibarat molekul-molekulnya yang bisa kurasakan namun tak bisa kuraih dan kugenggam.
Bukan kau yang menyiksaku, Maryam.
Tapi keadaanlah yang memaksaku demikian.
Aku mati di sini.
Aku memang masih bernafas
Tapi jiwaku pergi dan hilang mengejar sosokmu yang semakin menjauh.
Aku rapuh,
Serapuh bangunan-bangunan Romawi yang ditelan oleh masa, namun dia tetap tegak.
Aku tak kuat, Maryam.
Haruskah aku pergi meninggalkanmu
Ke sebuah tempat di mana aku tak bisa lagi memandang wajahmu, Maryam?
Haruskah?
Tapi semakin aku menjauh
Dan mencoba menghilang darimu
Jiwaku semakin dekat
Sedekat jari-jari yang tak pernah memisah.

Maryam...
Lihatlah aku disini!
Aku bahkan kehilangan harga diri
Untuk menjadi seorang lelaki.
Aku lemah
Menangis dan larut dalam keibaan yang panjang...
Sampai kapan, Maryam?
Sampai kapan...
Sampai bumi hancur
Dan langit digulung-gulung
Bagai gulungan kertas
Seperti yang diceritakan di dalam Al Qur'anmu itu?
Aku tak mau..
David semakin terisak.
Aku semakin lemah...
Sangat lemah, Maryam.
Selemah Adam yang tergoda untuk makan buah Khuldi oleh syaitan ketika di surga.
Kau tahu cerita itu, bukan?
Aku ingin bersamamu.

Aku ingin bercerita tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang kupijam dari lelaki yang sebenarnya sangat kubenci
Tapi dia tidak bersalah.
Aku tak boleh menyalahkannya.
Maryam, aku tak kuasa melupakanmu.
Aku tidak mampu untuk itu.
Melupakanmu ibarat menguliti kulitku sendiri.
Sakit... rasanya sangat sakit...
Aku lemah...
Sekarang bertambah lemah...
Semakin lemah...
Apa yang harus aku lakukan, Maryam?
Matikah?
Kurasa memang aku harus mati, Maryam.
Agar kisah ini berakhir.
Ya... berakhir...
Karena kutahu kau tercipta bukan untukku.
Bu.. kan.. un.. tuk.. u...
Tiba-tiba saja David kembali tak sadarkan diri.

Bersamaan dengan itu, ayahnya kembali. Dan betapa terkejutnya sang ayah saat mendapati kamar anaknya berantakan dengan bantal tergeletak di lantai.

”David... David... David... Bangun, Nak! Bangun..! Dokter.. Dokter..!” Digoyang-goyangkannya tubuh David. Dengan tergesa ia keluar memanggil dokter untuk memeriksa kondisi anaknya.

Pastur itu menangis di luar kamar. Tangannya bertumpu pada tembok, mencoba menahan limbung tubuhnya. Kali ini ia betul-betul mengkhawatirkan kondisi putranya itu. Putra yang begitu ia cintai, meski bukan dari darah dagingnya sendiri. Putra yang telah ia cintai sejak ia temukan tergeletak di depan gerbang gereja dengan kulit masih merah.

Pintu kamar itu terkuak. Dokter keluar dan mengajak sang pastur bicara serius.

”Tubuhnya sangat lemah. Dia terlalu stress. Jika terus-menerus memikirkan masalahnya, kondisi David akan semakin parah.” Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dipegangnya pundak sang pastur untuk sekedar mengalirkan kekuatan.

Pastur itu tertegun di samping putranya yang masih pulas dengan selang oksigen bergelayut di hidungnya. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa tahun silam, saat ia pertama kali menjadi ayah. Betapa bahagia perasaannya kala itu, mendapati David kecil bergerak lincah dan berceloteh riang menggumamkan panggilan paling dahsyat di telinganya: ”Ayah”. Kata yang membuat hatinya bergetar haru tiap kali mengingatnya.

”Kuatkan hatimu, Nak. Jangan lemah. Bukankah dulu kau ingin menjadi super hero seperti tokoh-tokoh komik yang ayah belikan untukmu? Kau ingat, kan, Dave? Saat kecil, kau sangat ingin menjadi Superman yang membantu orang-orang lemah dan menegakkan keadilan di muka bumi. Ayo jangan lemah, kuatkan dirimu. Kau akan membawa ayah terbang dengan sayap merahmu mengelilingi dunia. Kau sudah janji pada ayah. Ayah ingin kau tepati janji itu. Bangunlah, Nak. Kau satu-satunya yang ayah miliki, kau satu-satunya harapan ayah, penerus ayah. Ayah tidak ingin kehilangan kamu, Dave. Jangan tinggalkan ayah.” Diusapnya airmatanya yang berlelehan di pipi.

”Bangunlah, Nak. Pinokio merindukanmu. Ia ingin ikut ayah menjengukmu, tapi di sini tidak boleh membawa binatang peliharaan. Dia rindu berlari-lari denganmu, Dave. Tidakkah kau rindu juga padanya?” Pastur itu mencoba mengajaknya bicara, seolah putranya bisa mendengar. Sesekali dielusnya kening David dan diciuminya penuh kasih.

***
Maryam masih pingsan. Ayahnya duduk di samping ranjangnya dengan gelisah. Sementara ibunya masih setia melantunkan firman Tuhan dalam kitab sucinya.

”Aku ingin menemui lelaki yang membuat anakku seperti ini!” Ujar ayahnya memecah suasana.
Ibunya menghentikan aktivitas membaca Al Qur'annya, ia menoleh ke arah suaminya. Ia tak berbicara sepatah katapun.

”Cinta seperti apa ini, Khadijah?” ayahnya bertanya sedikit geram.

Istrinya masih diam.

”Sepertinya kita dulu tidak seperti ini. Biasa saja dalam urusan cinta. Tapi kenapa Maryam sangat membebankannya? Apa yang harus aku lakukan, Khadijah? Aku tidak tahu, demi Allah aku tidak ikhlas dan tidak rela jika orang Amerika itu menjadi suaminya kelak. Aku tidak mau, Khadijah. Aku tidak mau anak kita tersesat.” Ayahnya semakin putus asa.

Ibu Maryam mencoba menenangkan suaminya sambil merangkul pundaknya, ”Sudahlah, Sayang, kita berdoa saja padaNya. Biarkan Dia yang menyelesaikan urusan pelik ini.”

”Aku harus keluar, aku ingin bertemu dengan anak itu.” Dengan tergesa ia beranjak dari tempat duduknya, kemudian berlalu meninggalkan anak dan istrinya. Tak dihiraukannya sang istri yang berusaha mencegah langkahnya. Sebelum berbelok di ujung lorong, ia berpapasan dengan Anggel yang membawa sekotak buah untuk Maryam.

”Kau tahu di mana rumah lelaki yang membuat Maryam sakit begitu?” tanya ayah Maryam pada Anggel.
Anggel menunduk, ia merasa sedikit ketakutan. Akhirnya ia terpaksa memberitahukannya pada ayah Maryam.

”Dia ada di rumah sakit ini. Kalau mau bertemu dia, saya bisa antarkan Bapak ke sana.” Anggel menjawab sedikit ragu.

”Dia ada di rumah sakit ini? Cepat antarkan saya ke ruangannya.” Ayah Maryam tidak sabar.
Anggel menunjukkan kamar rawat inap David, sementara ayah Maryam mengikutinya dari belakang Anggel. Dalam hati Anggel merasa takut kalau ayah Maryam akan berbuat nekat pada sahabatnya itu. Ia berdoa sepanjang jalan menuju kamar inap David.

Tiba di depan pintu, Anggel mengetuk dengan hati-hati. Seorang biarawan membuka pintu kamar rawat inap itu. Ayah Maryam tersenyum, sementara biarawan itu memandang aneh, namun tak ayal dia mempersilakannya masuk juga.

Ayah Maryam terkejut saat melihat pastur yang sesaat tadi sempat berbicara dengannya di ruang tunggu, sedang duduk di sisi seorang anak lelaki remaja yang terbaring tak berdaya.

Reaksi serupa juga ditunjukkan oleh sang pastur. Dalam hatinya masih bertanya-tanya.

”Anda ada di sini, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” sang pastur mencoba tersenyum.

”Aku ingin bertemu dengan seorang anak yang membuat anakku menderita.” Ayah Maryam berkata tegas.
Pastur itu baru menyadari bahwa yang diajaknya bicara tadi adalah ayah yang membuat anaknya, David, menderita.

Kemudia ia berdiri, mendekat ke arah ayah Maryam, memandang wajahnya dengan nanar.
”Anda ingin bertemu dengan anak lelaki yang membuat putrimu menderita, Tuan?” pastur itu sekuat tenaga menahan gejolak di hatinya.

Ayah Maryam hanya diam, seolah sudah paham kondisi anak lelaki itu juga sama seperti putrinya, belum sadarkan diri. Anak lelaki itu tak lain adalah putra sang pastur.

”Lihatlah, dia berusaha berjuang untuk melupakan putri anda, Tuan,” ujar ayah David pilu.

Ayah Maryam masih terdiam.

”Anda ingin memarahinya? Anda ingin menyuruhnya pergi jauh dari kehidupan anak anda? Dia sudah melakukan semuanya. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti apa yang anda mau, Tuan.” Disusutnya airmatanya yang terus mengalir deras.

Ayah Maryam mendekat ke arah David. Ia pandangi wajahnya lekat. Hatinya terenyuh melihat kondisi David yang kurus, lingkar matanya menghitam dengan wajah pucat seolah sedang menahan beban berat. Ia pandangi lagi wajah David yang diam seperti sedang lelap tertidur, namun masih menyiratkan mimik kesedihan.

”Wajah anak ini tampan. Sangat tampan. Namun antara dia dan Maryam ibarat air dan minyak, mereka tidak akan mungkin bisa saya satukan. Saya tidak akan mungkin melakukannya. Tapi saya yakin dia akan mampu melaluinya. Begitu juga dengan Maryam. Saya percaya itu.” Ayah Maryam mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tidak lama, ia memohon diri untuk pamit. Ayah David hanya menanggapinya dengan diam. Dalam benaknya juga memikirkan kata-kata yang tadi diucapkan ayah Maryam.

Bersambung..

*Anda berada di Halaman 14
Untuk membaca part selanjutnya anda klik daftar isi dan pilih cerita yang selanjutnya akan anda baca.

Cerpen : Perbedaan Yang Tak Mungkin Disatukan