-->

Cerpen : Terlalu Cinta

Cerpen : Terlalu Cinta
Maryam turun di halte bus di dekat sekolahnya dulu. Setelah pulang dari sekolah barunya tadi, entah kenapa ia ingin sekali pergi ke halte ini. Ia memandangi jalanan trotoar yang pernah dilaluinya bersama David. Ia ingin menunggu David. Ia ingin tahu siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya. Ia duduk di bangku halte
sambil memandangi jalanan ke arah sekolah. Ia lihat masih ada beberapa anak sekolah yang berjalan menuju halte, namun wajah David tak terlihat juga. Beberapa dari mereka melihat Maryam dengan aneh lalu berbisik, sepertinya mereka kenal dengan Maryam, seperti sudah melihatnya. Lama, tapi tak ada siswa yang melalui jalan trotoar itu lagi, David pun tak muncul-muncul.

Hari semakin sore, David tak juga datang. Tiba-tiba Jardon muncul sambil berlari tergesa-gesa mengejar dua orang pria yang memegang senjata tajam. Dua pria bersenjata tajam itu berlari. Jardon terengah-engah lalu terduduk lemah saat tak kuasa mengejar kedua lekaki itu.

“Sial. Awas kau keparat, jika nanti aku menemuimu lagi, akan kubunuh kalian berdua!” Teriak Jardon pada dua pemuda yang sudah kabur itu.
“Kau kenapa?” tanya Maryam penasaran. Jardon tak menyadari bahwa suara itu adalah suara Maryam. Jardon menjawabnya tanpa melihat Maryam.
“Semua barang berhargaku dirampok oleh kedua pemuda itu. Handphone, jam tangan dan dompetku, semua diambil mereka. Aku tak bisa pulang, supirku tak biasa menjemputku. Mau naik taksi tak ada orang di rumah untuk membayarkannya, semua pergi.” Jardon menjawab hampir berteriak, sedih.

“Ini pakai uangku!” Ucap Maryam. Lalu Jardon menoleh. Ia terkejut saat menyadari bahwa suara itu adalah suara Maryam. Sedari tadi dia tidak menyadarinya. Ia pikir hanya orang lain yang kebetulan menunggu bus di halte itu.

“Kau, teroris?” ucap Jardon ketakutan lalu langsung mundur tiga langkah dari hadapan Maryam.
“Aku bukan teroris, percayalah. Aku memang muslim, tapi sesungguhnya muslim sejati itu tak pernah melakukan kehancuran di muka bumi. Hanya mereka yang tak sejalan dengan ajaran muslim sejatilah yang bisa melakukan itu. Ambillah uang ini. Kau perlu ini untuk pulang!” Ucap Maryam sambil mengulurkan tangannya yang berisi beberapa dolar. Maryam lalu menunduk.

Jardon terdiam, ia gengsi mengambil uang di tangan Maryam. Tapi siapa lagi yang akan menolongnya selain Maryam? Semua orang di sekolah sudah pergi. Dengan malu ia mengambil uang itu.

“Terima kasih, nanti akan aku ganti,” ucap Jardon sedikit malu. Maryam hanya tersenyum.
“Hey, kenapa kau di sini? Bukannya kau sudah pindah?” tanya Jardon penasaran.
“Tidak apa-apa, kebetulan saja lewat sini,” jawab Maryam tak mau menjelaskan alasan sesungguhnya mengapa ia ke tempat itu.

Bus sudah tiba. Menyadari hari sudah hampir gelap, Maryam langsung pamit untuk masuk ke dalam bus.
”Sorry, I’m in hurry. My father must be worried about me. I’m going. See ya. (Maaf, aku sedang buru-buru. Ayahku pasti mengkhawatirkanku. Aku pulang, ya)”

Jardon hanya menatapnya, seakan tak percaya bahwa Maryamlah yang menjadi pahlawannya hari ini. Kalau tidak ada Maryam, mungkin Jardon akan mati jalan kaki menuju rumahnya yang jauh itu. Jardon melihat uang dolar dari Maryam di tangannya dengan haru.

”David was right. She’s not a terrorist. She’s nice, (David benar. Dia bukan teroris. Dia begitu baik)” bisik hati Jardon sedikit ragu.

Di dalam bus itu Maryam melamun. Hari ini dia tak mampu lagi menahan rindu pada David, hingga ia memberanikan diri untuk mengunjungi halte bus yang biasa ia singgahi ketika pulang sekolah. Maryam tak mau diperlakukan seperti anak raja. Ayahnya sudah menyediakan mobil dengan supir pribadi, tapi Maryam bersikukuh untuk menolak, ia ingin mandiri. Ia tatap pemandangan kota New York di petang itu, matahari mulai bersembunyi di belakang gedung-gedung pencakar langit kota itu.

“Where are you? I miss you. (Di mana kau? Aku merindukanmu)” Maryam bertanya dalam hati.

***
Dua hari ini Maryam tak membuka pintu kamarnya. Matanya selalu berair. Cinta yang keterlaluan menghinggapi tubuhnya saat ini. Betapa remaja lelaki bermata biru dan berambut pirang itu telah menghipnotisnya. Maryam tak bisa menepis dan membuang rasa rindunya yang semakin menggebu-gebu. Ia menyesal telah mengenal remaja Amerika itu. Kini rasa itu membuatnya sangat tersiksa.

“Maryam, buka pintunya, kau akan sakit jika terus-terusan mengurung diri di kamar!” Teriak ayahnya. Ibunya menangis melihat tingkah aneh Maryam di sisi suaminya itu.
“Aku tak akan keluar kamar sebelum ayah memasukkan aku lagi ke sekolahku yang dulu. Aku tak mau sekolah di tempat sekarang!” Maryam berteriak lemah.

“Ada apa denganmu, sampai kau senekat ini untuk membujuk ayah agar membiarkanmu bersekolah di sekolah yang mayoritas non muslim itu?” tanya ayahnya penasaran.
“Ayah sudah berjanji untuk menuruti kemauanku jika aku mau ikut pindah ke sini. Mana janji ayah?” teriak Maryam lagi.

Ayahnya hanya diam, sementara ibunya terus menangis, tak tahu harus berbuat apa.
”Aku ingin mandiri, Ayah. Aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, izinkanlah aku mengenal orang-orang baru. Percayalah aku pasti bisa menjaga diriku.” Maryam memohon pada ayahnya.

”Baiklah, jika itu maumu, asal kau buka pintu kamarmu. Dan ingat, kalau sampai terjadi sesuatu, ayah tak akan pernah memaafkanmu!” Ucap ayahnya kesal lalu pergi meninggalkan kamar Maryam.

Bersambung ..

*Anda berada di Halaman 4
Untuk membaca part selanjutnya anda klik daftar isi dan pilih cerita yang selanjutnya akan anda baca.

Cerpen : Terlalu Cinta