David masih terbaring lemah menunggu kesembuhannya. Ia ingin sekali segera membantu sahabat-sahabatnya untuk mengusir Maryam dari sekolah, namun ayahnya selalu mengatakan bahwa dokter belum mengizinkannya untuk pulang.
Seminggu lebih di rumah sakit serasa setahun baginya. David benar-benar merindukan suasana gereja tempat tinggalnya, mencium aroma pepohonan di taman gereja, menyapa para biarawan-biarawati yang menyayanginya dan bermain-main dengan anjing yang ia beri nama Pinokio, anjing kecil dan lucu yang memiliki kalung bertuliskan pinokio. Kalung itu sudah ada di leher anjingnya saat David tak sengaja menemukannya terluka dan meraung lemah di depan gereja. David akhirnya mengadopsi anjing itu sampai sekarang.
Ah, akhirnya waktu itu tiba juga, dokter sudah memperbolehkannya pulang.
Sebuah mobil hitam menunggunya di depan rumah sakit. Para biarawan tersenyum bahagia menuntun David masuk kedalam mobil itu. Ayahnya tak berhenti memuji Tuhan saat anak angkatnya itu sudah sembuh. David langsung mengirim SMS pada seluruh teman-teman kelasnya bahwa besok ia akan datang ke sekolah dan mengurus si teroris berkerudung itu.
Dan pagi itu, usai menikmati sarapan roti bakar kesukaannya, David pamit pada ayahnya untuk sekolah. Ia kayuh sepeda silvernya dengan kencang. Anjing Pinokionya menyalak-nyalak saat mengetahui David pergi.
”Easy, calm down, Buddy! I’ll be home soon. Wait for me, okey?! (Tenang, teman! Aku akan segera pulang. Tunggu, ok?!)” teriak David pada anjing kesayangannya.
Rushel dan seorang biarawan yang berdiri di sampingnya memandang David dari kejauhan.
”Bapa, apakah David benar-benar sudah sembuh?” tanya Biarawan itu.
”Hanya Mukjizatlah yang menyembuhkannya. Kita harus membuat David selalu bahagia, dokter bilang dia tidak boleh stress,” ucap Rushel pada biarawannya.
Biarawan itu terdiam, ada kesedihan di hatinya. Bagaimana tidak, David adalah milik mereka, milik gereja.
***
Setiba di depan gerbang sekolah, teman-teman kelasnya menyambut David dengan girang.
"Syukurlah, pemimpin kita sudah sembuh sekarang." Jardon berseru.
"Ayo, kita ke ruang kepala sekolah sekarang!" Ucap David yang tak sabar lagi ingin mengurus anak baru yang dianggap teroris itu.
Semua temannya mengikuti David masuk ke halaman sekolah. Tak lama kemudian Maryam pun masuk ke gerbang sekolah dan menunduk.
”David. . . David. . . Stop!” Teriak Jardon. Lalu David pun menoleh ke arah Jardon.
”What’s going on? (Ada apa?)” tanya David penasaran.
Jardon mendekat dan berbisik, ”There she is, Dave. (Itu dia, Dave)” Jardon berujar sambil menoleh ke arah Maryam. David pun ikut menoleh melihat Maryam.
David terperangah, sosok wanita berwajah cerah itu terus menunduk. Matanya yang bening biru, hidungnya yang mancung, serta alisnya yang tebal dan menyatu membuat David diam terpaku.
”Are you sure that she is a terorist, Jardon? (Apa kau yakin bahwa dia seorang teroris, Jardon?)” tanya David.
”You don’t believe me, Dave? Look at her big veil. Someday you’ll see her concealing the bomb over her veil. (Kau tidak percaya, Dave? Lihat jilbab besarnya. Suatu saat kau akan melihatnya menyembunyikan bom di balik bajunya.)” Jardon meyakinkan David.
"Aku tak mau ke ruang kepala sekolah sekarang. Aku yakin dia bukan teroris," ucap David. Jardon langsung terkejut. Teman-teman sekelasnya melihat David dengan tatapan aneh. Mereka heran mengapa David tiba-tiba berubah pikiran, padahal dia yang paling semangat untuk mengusir Maryam yang dianggap teroris itu.
”Dave, what’s wrong with you? You have to believe me! She is a terrorist. T-E-R-R-O-R-I-S-T. Remember that! (Dave, ada apa denganmu? Kau harus percaya padaku! Dia itu teroris!)" Teriak Jardon meyakinkan.
Maryam terus berjalan dan tak mempedulikan perdebatan mereka. Maryam sekilas melihat ke arah David dan tersenyum, lalu berlalu. Sementara David terdiam kaku bagai terkena hipnotis saat melihat Maryam memberikan senyum untuknya.
"David...?!" Teriak Jardon lagi.
"Teman-teman semua, percayalah padaku, dia bukan teroris. Sekarang aku mau ke kelas. Terserah kalian mau ikut belajar atau tidak denganku. Aku tak mau ikut campur lagi." David berkata tegas pada semua teman kelasnya.
"Kalau kau sampai masuk ke kelas, berarti kau bukan ketua kelas kita lagi." Jardon mengancam.
"Terserah, tapi percayalah padaku, aku yakin gadis itu bukan teroris, aku bisa melihatnya, dia gadis baik-baik," ucap David tegas, lalu pergi ke kelas meninggalkan mereka.
Jardon dan teman-temannya bersikukuh untuk tidak mau masuk kelas. Mereka pulang atas bujuk dan rayuan Jardon dengan orasi semangatnya. Jardon berhasil mempengaruhi teman-teman kelasnya untuk meyakinkan bahwa Maryam benar-benar seorang teroris. Semua teman kelasnya kecewa pada sikap David yang begitu saja yakin bahwa Maryam bukan seorang teroris.
***
David membuka pintu kelas yang tertutup. Entah apa yang dia rasakan sampai dia berubah pikiran untuk tidak ikut campur dengan pernyataan teroris yang dituduhkan Jardon pada Maryam. Ia melihat Maryam sedang duduk di bangku paling depan sambil membaca sesuatu. David pun ikut duduk di sebelahnya. Lama, tak ada pembicaraan di antara mereka. Bagi David, wajah secerah itu tak mungkin ada niat jahat untuk menghancurkan sekolah dengan bom.
Maryam sendiri merasa tenang berada di kelas itu karena ia merasa punya teman yang mendukungnya. Ia sedikit mendengar perdebatan antara David dan Jardon di halaman sekolah tadi pagi. Hati Maryam ingin mengucapkan terima kasih pada David karena telah membelanya, namun ia tak tahu harus memulai dari mana.
Mereka berdua masih terdiam, padahal di antara dua manusia berbeda ras itu seperti ingin sekali saling sapa dan berucap. Mereka tak kuasa dan tetap memilih diam. Lalu tiba-tiba, seorang guru laki-laki berumur empat puluh tahunan masuk ke kelas.
”Good Morning. Ouch... only two of you? (Selamat pagi... Oh, hanya kalian berdua?) Ke mana murid-muridku yang baik dan cerdas-cerdas itu, David?” tanya guru itu pada David.
”They are away, Sir. They... uhmm.. (Mereka semua pergi, Pak!)” David tak melanjutkan kata-katanya. Ia menoleh ke arah Maryam, lalu akhirnya mengurungkan niatnya untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada gurunya. Ia khawatir akan membuat Maryam bertambah cemas dan gusar.
”Mereka kenapa?” tanya guru itu lagi.
”Mereka pikir aku seorang teroris, Pak, padahal aku pindah ke sini jauh-jauh dari Dubai karena ikut ayahku yang bertugas sebagai duta besar Uni Emirat Arab. Aku hanya seorang siswi, bukan teroris.” Maryam berusaha menjelaskan.
”Begitu, ya?” ucap Guru itu, lalu mendekat ke arah David, ”This is your resposibility as the chief of the class. You must convince and explain to your friends that Maryam is not a terrorist. (Ini tanggung jawabmu sebagai ketua kelas. Kau harus meyakinkan dan menjelaskan pada semua temanmu bahwa Maryam bukan teroris.)”
”Yes, Sir. I believe that she’s not and I’ll do my best to convince them (Aku percaya dia bukan teroris dan aku akan berusaha semampuku untuk meyakinkan mereka),” ucap David.
Maryam menoleh ke arah David. Selama sekolah di Dubai, ia sama sekali tak pernah berada sekelas dengan kaum adam. Ia disekolahkan di sebuah sekolah khusus perempuan. Maryam merasa agak gugup, namun dia merasakan sesuatu yang berbeda. Maryam merasa nyaman sekali melihat seseorang yang begitu mantap mempercayainya bahwa dia bukan seorang teroris.
”Baiklah. Kita akan tetap belajar hari ini,” ucap Guru itu, lalu mereka pun akhirnya belajar bersama.
***
Jam istirahat tiba. David beranjak dari duduknya. Ia ingin sekali mengajak Maryam keluar untuk pergi ke kantin bersama-sama, namun ia masih malu, ia lihat Maryam malah tetap duduk dan membaca sebuah buku tebal, lalu David akhirnya meninggalkannya.
Di perjalanan menuju kantin, David mencoba menelepon Jardon. ”Hello, Jardon...,” ucap David setelah Jardon mengangkat teleponnya.
”You’re not my best friend anymore, Dave! What for do you call me, huh? (Kau bukan temanku lagi, Dave! Untuk apa kau menghubungiku lagi, hah?)” jawab Jardon ketus.
”Jardon, please, trust me! Maryam is not a terrorist. Even our teachers believe that she’s not, then why you guys do it? Oh come on, we’re all friends. Help me convince our other friends and ask them to come back to the class. (Jardon, kumohon, percayalah padaku! Maryam bukan teroris. Bahkan guru-guru kita percaya bahwa dia bukan teroris, lalu kenapa kalian seperti itu? Ayolah, kita semua teman. Bantu aku meyakinkan teman-teman kita yang lain dan minta mereka untuk kembali ke kelas.)” Pinta David.
”Kau kenapa, Dave? Kau bisa begitu saja percaya, padahal baru tadi pagi kau melihatnya. Kau belum tahu semuanya tentang gadis itu, bukan? Oh My God, aku yakin kau pasti terhipnotis dengan parasnya. Karena kecantikan gadis itu kau jadi berubah pikiran, begitukah? Ternyata benar kata pepatah, wanita bisa menghancurkan dunia. Hey, kau ingat, kan, apa kata Bu Violen tentang pengaruh wanita, Bill Clinton saja hancur gara-gara wanita,” ucap Jardon meyakinkan David.
”Jardon, come on! Please, trust me! This is not like what you think. (Jardon, ayolah! Kumohon, percaya padaku! Ini tidak seperti yang kau kira)” David memohon.
”Sepertinya kau termasuk dalam salah satu 10 tanda-tanda orang jatuh cinta di buku yang pernah aku baca. Love at the first sight. Is it right, Dave? (Cinta pada pandangan pertama. Apa itu benar, Dave?)” tanya Jardon penuh selidik.
”Oh, come on, this is not about love. That’s silly! (Oh, ayolah, ini bukan soal cinta. Ini konyol!) Aku baru saja melihat gadis itu, mana mungkin aku langsung mencintainya. Ini karena sebuah keyakinan, aku sangat yakin dia bukan teroris!” Ucap David mencoba menjelaskan lagi.
”Kau jatuh cinta padanya, Dave. Tanyakan pada hatimu. Itulah sebabnya kau membelanya,” ucap Jardon lalu mematikan handphone-nya tiba-tiba.
”Jardon... ” Panggil David, saluran itu pun terputus.
David terdiam sesaat. Ia lalu duduk di sebuah bangku taman dan mencoba memikirkan kata-kata Jardon.
”Love? Is it? Am I really falling in love with her at the first sight? No.. No.. No.. Jardon doesn’t even know what my heart feels. He must be wrong. This is not a love. The Big N followed by the Big O. NO! (Cinta? Benarkah? Apa aku benar-benar jatuh cinta padanya pada pandangan pertama? Tidak, Jardon bahkan tidak tahu apa isi hatiku. Dia pasti keliru. Ini bukan cinta. Tidak!)” Sanggah David dalam hati. Ia kembali mengingat-ingat kejadian ketika untuk pertama kalinya David melihat wajah Maryam. Ia mencoba mengingat-ingat suasana hatinya kala itu.
”Aku ingat... wajah itu begitu cerah bersinar. Belum pernah aku melihat wajah yang bersinar cerah seperti itu. Walaupun aku tahu Anggel adalah gadis tercantik di sekolah ini, tapi wajah Anggel tak secerah wajah gadis itu.” Hatinya terus bergumam, mencoba mengingat-ingat peristiwa pagi itu.
”Aku merasa tenang saat berada di kelas bersama gadis itu, tak pernah aku merasakan setenang itu. God, apakah aku jatuh cinta pada gadis itu? Aku sungguh belum pernah merasakan rasa ini sebelumnya pada gadis manapun. Selama ini aku selalu dingin, tapi tadi aku seperti berubah, berubah menjadi David yang lain. Apa mungkin kata Jardon benar, bahwa aku terhipnotis oleh gadis itu hingga aku begitu saja percaya bahwa dia bukan teroris? Aku, kan, belum kenal baik dengan gadis itu?” tanya David dalam hati, berulang-ulang. Ia pun tak mempedulikan lagi kata hatinya. Ia kemudian mencoba bangkit dari kursi taman itu dan berjalan ke kantin sekolah. Setiba di sana ia memesan makanan dan sebotol minuman. Setelah selesai menghabiskan makanan dan minumannya ia kembali pergi ke kelas.
Di kelas, ia melihat Maryam masih duduk di bangkunya sambil membaca buku tebal itu.
”Apakah dia tidak lapar?” tanya David dalam hati. ”Tunggu...tunggu, aku peduli padanya dan mengkhawatirkannya? Tidak, Jardon benar, benih cinta ini memang ada,” pikir David.
David langsung berlari ke kantin. Ia memesan makanan dan sebotol miniman dingin, lalu membawa makanan dan minuman itu ke kelas.
”You must be starving. Here are for you. Have them! (Kau pasti lapar. Ini untukmu. Makanlah!)” Tawar David sambil menyodorkan makanan dan minuman di tangannya. Dia agak gugup.
Maryam sedikit terkejut melihat kebaikan David yang mendadak itu.
”Maaf, aku sedang berpuasa,” ucap Maryam mencoba menjelaskan.
”Fasting? You mean, no food no drink? (Puasa? Maksudmu, tidak makan tidak minum?)” tanya David masih belum paham tentang puasa.
”Yes!” Jawab Maryam menunduk.
”Okey, you may keep them, then (Oke, kau bisa menyimpannya). Pasti ada waktunya, kan, kau bisa makan dan minum lagi?” pinta David pada Maryam.
Maryam mengangguk lalu mengambil makanan dan minuman yang ditawarkan David.
”Thank you,” jawab Maryam sambil tersenyum.
David terlihat salah tingkah. Ia bingung harus berkata apalagi untuk memulai pembicaraan yang lain dengan Maryam, dan akhirnya ia pun menyerah, lalu duduk kembali di bangkunya. Sementara Maryam begitu takjub dengan kebaikan David. Baru kali itu ia merasakan kebaikan seorang lelaki kepadanya. Jam pelajaran berikutnya sudah dimulai lagi, mereka saling berdiam-diri memperhatikan materi yang diajarkan guru di depan kelas. Lama terasa pelajaran saat itu. Lalu, saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga, jam pulang sekolah.
Maryam mengemasi buku-bukunya lalu beranjak keluar kelas, sementara David membuntutinya dari belakang. Ia masih penasaran dengan perempuan muslim itu. Sedari tadi ia tak pernah berhasil untuk berkomunikasi lagi dengannya, entah karena tak tahu harus memulai dari mana atau karena memang ada sesuatu yang berbeda, namun sejak pertemuan pertama di halaman sekolah tadi pagi, ada sesuatu yang David rasakan. Untuk pertama kalinya selama ia hidup, David merasa wajah Maryam seperti magnet dan ia sendiri ibarat logam yang tak mau lepas dari magnet itu. Pada akhirnya, David membenarkan ucapan Jardon tadi melalui telepon. Ah, David merasa gadis ini memang seorang teroris, tapi teroris yang menghipnotis pikiran dan perasaannya untuk selalu mengingat parasnya. Selama ia sekolah di sekolah bergengsi itu, David tak pernah merasakan hal seperti ini. Bahkan Anggel, teman sekelasnya yang terkenal dengan julukan The next Miss World, pun tak pernah ia hiraukan.
Dedaunan kering berguguran di sepanjang jalan trotoar menuju halte bus. Kota New York begitu hangat siang ini. Maryam berjalan menunduk menuju halte. Kerudungnya berkibar terhembus angin yang juga menerbangkan dedaunan kering yang mengotori trotoar. Sementara David, ia berjalan sambil mendorong sepedanya di belakang Maryam. Ia masih penasaran dengan Maryam. Ia masih berharap agar bisa bicara lagi dengannya. Itulah mengapa ia tidak mengayuh sepedanya, tapi menuntunnya dan berjalan mengikuti Maryam.
Tiba-tiba Maryam terhenti di depan sana. David terkejut melihat Maryam berhenti di hadapannya, lalu spontan ikut terhenti. Lama Maryam tak membalikkan tubuhnya, ia masih saja membelakanginya. Maryam menarik nafas, lalu berbalik menghadapkan tubuhnya ke arah David dan menunduk.
“Maaf, aku merasa tak nyaman berjalan di hadapan lelaki yang juga berjalan menuju arah yang sama. Nabiku mengajarkan agar lelaki yang seharusnya berada di depan. Karena halte masih jauh, jadi kupersilakan kamu yang duluan berjalan,” ucap Maryam sambil menunduk. Ini adalah kali pertama baginya berinteraksi dengan lelaki asing di tempat umum di kota ini.
Lelaki berambut ikal pirang dan bermata biru itu tersenyum lalu berjalan mendorong sepedanya. Kini giliran Maryam yang mengekor. Tak lama kemudian David terhenti. Ia berbalik menghadap Maryam, Maryam pun langsung menunduk.
”Hey, why don’t we ride my bicycle? The bus station is far away still, I can ride you behind and take you there, if you want (Hey, kenapa kita tidak naik sepedaku saja? Stasiun masih jauh, aku bisa memboncengmu dan mengantarmu ke sana kalau kau mau).” Tawar David pada Maryam sambil tersenyum.
Maryam mengangkat wajah. Untuk kedua kalinya ia menatap mata David secara langsung setelah melihatnya di halaman sekolah pagi tadi. Wajah David yang tampan membuat Maryam bergetar. Baru kali itu ia merasakan getaran seperti itu. Di Dubai, Maryam disekolahkan di sekolah khusus perempuan sehingga ia nyaris jarang berinteraksi dengan lelaki seusianya. Hatinya mengatakan ingin sekali menaiki sepeda David, namun Maryam malu. Interaksi itu membuat hati Maryam sedikit gelisah, ia masih menghawatirkan apakah yang dia lakukan itu adalah dosa atau tidak.
“Bagaimana?” pinta David lagi.
”No, thanks. I can walk. You can go first (Tidak, terima kasih. Aku bisa berjalan kaki. Kau pergi saja duluan).” Maryam menolak.
”Ayolah, tidak perlu bayar kok? It’s free of charge (ini gratis, kok),” bujuk David lagi.
Maryam berpikir sejenak. Entah kenapa ia tiba-tiba seperti terhipnotis untuk mengiyakan ajakan David. ”Okey, but ride safely (Baiklah, tapi menyetirlah dengan hati-hati)!” Ucap maryam sambil tersenyum.
Maryam duduk di belakang David. Sepeda itu dikayuh dengan pelan oleh David. Hatinya bergetar hebat, sementara Maryam juga merasakan hal yang sama.
“Ya Allah, jika ini dosa, ampuni aku...” Bisik hati Maryam.
Mereka masih terdiam di atas dua roda yang berputar seirama dengan detak jantung David saat itu. Dedaunan terbang malu-malu melihat kedua remaja yang berbeda keyakinan itu sedang berboncengan sepeda. Untuk pertama kalinya Maryam berada sedekat itu dengan lawan jenis. Di Dubai, Maryam sangat tertekan. Ayahnya selalu mengontrolnya dan melarangnya bergaul dengan laki-laki. Tapi hari itu, Maryam benar-benar nekat. Entah ada angin apa dia mau begitu saja diajak bersepeda dengan lelaki yang baru tadi pagi dia kenal. Maryam merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya yang bergetar hebat. Setiba di halte, David mengerem sepedanya dengan hati-hati, Maryam turun.
“Thank you for the ride (Terima kasih atas tumpangannya).” Maryam mengucapkan terima kasih sambil menunduk. Kerudungnya berkibar tertiup angin. Beberapa orang berambut pirang di halte itu memandang Maryam dengan sinis. David hanya tersenyum.
“Take care!” Ucap David, lalu dia siap mengayuh sepedanya untuk pulang.
“Hey…!” Teriak Maryam memanggil David.
David mengerem sepedanya, lalu menoleh ke arah Maryam.
“Terima kasih telah membelaku di halaman sekolah pagi tadi. Kamu benar, bahwa aku bukan teroris, dan terima kasih juga atas makanan dan minumannya. Aku akan memakannya ketika tiba waktu berbuka puasa nanti,” ucap Maryam tersenyum senang.
David mengangguk lalu kembali mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia tersenyum sendiri. Untuk pertama kalinya David merasakan sesuatu yang berbeda ketika berdekatan dengan wanita. Selama ini David sudah tak aneh lagi berinteraksi dengan para sisiwi di sekolahnya, namun ketika melihat Maryam, semua terasa serba salah. Senyumnya belum juga memudar sampai ia tiba di depan gereja ayahnya. Pinokio, anjing kesayangannya, langsung berlari menghampiri David. Ia menyalak-nyalak girang melihat tuannya pulang.
”Hey, my Pinokio. I’ve got something to tell you, buddy (Hai, Pinokio! Aku punya cerita untukmu, kawan).” David mencoba mengajak bicara anjing kesayangannya itu. Ia selalu menganggap anjingnya seolah-olah mengerti apa yang ia katakan. Tiap kali David mengajaknya bicara, Pinokio hanya menanggapinya dengan menyalak. David beranjak ke kamarnya, sedangkan anjingnya mengekor di belakangnya.
”You know what, I’ve seen a fairy today. She’s very awesome and gorgeous, indeed (Kau tahu, aku baru saja melihat bidadari hari ini. Dia begitu menawan dan cantik),” ucap David sambil berbaring. Matanya menerawang ke langit-langit kamarnya.
“Guk.. Guk… Guk…” Anjing itu hanya menyalak.
***
Maryam tersenyum sumringah saat berbaring di kasur kamarnya. Wajah David tak pernah hilang dari penglihatannya. Inikah cinta seperti yang dikatakan penulis kisah seribu satu malam itu? Atau seperti yang dikatakan William Shakespeare dalam karyanya Romeo dan Juliet? Selama ini Maryam tak pernah percaya dengan kisah-kisah cinta itu. Hidupnya selalu kesepian, dikekang dan tak bisa merasakan manisnya menjadi gadis remaja. Kalau bukan karena pindah ke negara adidaya itu, mungkin Maryam tak akan sebahagia ini. Maryam benar-benar meresapi getaran rasa sukanya pada remaja lelaki Amerika itu. Semua nasihat ayahnya tak ia hiraukan.
Tak lama kemudian pintu kamarnya diketuk, ternyata itu ayahnya. Setelah Maryam membuka pintu kamarnya, ayahnya mengajak Maryam ke ruang keluarga.
”How’s your new school, darling? (Bagaimana sekolah barumu, Sayang?)” tanya ayah Maryam sambil mengecup kening putri semata wayangnya.
”Nice, Dad.” Maryam menjawab singkat.
“Ayah harus memindahkanmu di sekolah Internasional khusus muslim besok. Di sana kau bisa berbaur dengan teman-temanmu sesama muslim,” ucap Ayahnya.
Maryam tersentak, ia memandang wajah ayahnya sedih.
“Aku senang sekolah di situ, Yah. Ayah tenang saja, aku bisa menjaga diri di sana,” bela Maryam.
“Bisa menjaga diri? Ayah dapat laporan dari orang suruhan ayah bahwa kau sudah memiliki teman laki-laki, bahkan kau berani bersepeda dengannya. Ini memang salah ayah yang tergesa-gesa memilihkan sekolah untukmu.” Ayahnya berusaha tenang. Ia tak mau memarahi anak perempuan satu-satunya itu.
Maryam terdiam, ia tak bisa mengelak lagi.
Entah mengapa dia merasa sesuatu mengganggu tubuhnya. Ia melemah, memikirkan sesuatu yang tak ia mengerti apa yang sedang ia risaukan. Lalu tiba-tiba terlintas wajah David yang sudah ia hafal, meskipun Maryam baru dua kali memandang wajahnya di sekolah tadi. Ia tahu apa penyebab kesedihannya. Wajah itu, yang hanya sehari bersamanya, lalu langsung mampu menghipnotis pikirannya untuk selalu memikirkannya. Baru kali itu Maryam merasakan perasaan itu, sangat dahsyat. Maryam merasa kehilangan dan sedih.
“Aku harus berpisah dengan lelaki pembelaku itu?” bisik hati Maryam. Ia melamun, tak pernah ia merasa sebegitu kehilangannya seperti ini. Ia ingat Azizah sahabatnya di Dubai. Biasanya dialah teman satu-satunya yang bisa diajak curhat saat risau seperti ini. Namun sayang, Azizah berada jauh di sana. Hanya kucing putih kesayangannyalah teman satu-satunya, tempat ia meluapkan emosinya. Kucing itu ia bawa dari Dubai. Zahara, begitu ia menamainya. Ia elus punggung Zahara pelan.
“Lelaki itu adalah orang pertama yang membelaku dan perhatian terhadapku, Zahara, aku benar-benar tersipu. Kau tahukan di Dubai aku sama sekali tak pernah bercerita masalah laki-laki, karena aku sama sekali tak pernah diberi kesempatan oleh ayah untuk bergaul dengan laki-laki. Aku bingung Zahara, I don’t know what to do, wajah laki-laki itu tak bisa lepas dari pikiranku. Kkau tahu betapa aku memikirkannya saat ini? Apakah ini cinta Zahara?” ucap Maryam pada kucingnya, sementara zahara hanya diam menjilat-jilat bulunya manja.
Bersambung ..
*Anda berada di Halaman 2
Untuk membaca part selanjutnya anda klik daftar isi dan pilih cerita yang selanjutnya akan anda baca.
Pilih Daftar Isi : Novel Tell Your Father That I Am Moslem