-->

Cerita Horor Seorang Gadis Psikopat

Cerita Pelecehan terhadap anak sendiri yang berujung maut. Cerita horor dan Psikopat.
Cerita ini menceritakan tentang seorang gadis yang menjadi psikopat akibat diperlakukan tidak seronoh oleh ayah tirinya. Gadis tersebut merasa dirinya sudah tidak berhharga sehingga stress dan akhirnya.. baca saja ya.
Cerita Horor Seorang Gadis Psikopat

Cerita ini ditulis Oleh : Galuh Cahya

Namaku Tantri. Wanita yang berharap bisa keluar dari sangkar milik ibuku. Aku membenci peraturan yang diciptakan wanita itu. Dia mungkin telah berjasa melahirkanku ke dunia, namun dia tak memiliki hak untuk segala hal yang kujalani nantinya. Tidakkah ada seorang penyair yang berkata, “Anakmu bukan anakmu.”? Andai ia mengerti seberapa besar pengorbanan yang kuberikan padanya agar ia bisa bersama dengan lelaki bangsat yang kini berstatus sebagai ayahku.

Ayah tiriku.

Ayah kandungku memilih mengejar cinta masa lalunya. Lelaki itu mengabaikan ibu dan diriku. Andai ia mau bersabar dan menungguku menginjak usia dewasa, mungkin aku tak perlu merasakan neraka jahanam. Untuk itulah aku mengutuk kebodohannya. Beraninya ia mengabaikanku … putri yang membutuhkan perlindungannya dari tangan-tangan iblis yang setiap malamnya menggrogoti jiwaku. Suara-suara yang selalu memintaku mengambil pisau, memandang bilah tajamnya, dan mungkin mencoba merasakan sengatan dingin di tanganku.

Kemudian darah hangat yang membawa serta napas kehidupanku.

Aku menginginkan kematian.

Aku menginginkan kebebasan.

Aku ingin….

Diriku kembali murni.

***

Delapan tahun. Bocah kecil bau kencur yang seharusnya menikmati lumpur. Jiwa kecil yang tak mengenal predator di sekitarnya. Sosok yang kubenci hingga ke tulang sumsum. Diriku … yang bodoh.

Sepeninggal ayahku, ibuku larut dengan kesedihannya; merasa menjadi wanita yang tak diinginkan. Berhari-hari kakekku mencoba meyakinkan ibuku. “Ningsih,” katanya. “Jangan lagi kaupikirkan pria bangsat itu. Kau masih muda. Ada banyak pria yang mau menikahimu.”

Seharusnya saat itu kujahit mulut lelaki yang menyarankan ibuku untuk menikah. Andai saja dia mengerti akibat buruk dari nasihatnya, mungkin ia akan menggantung diri dan berharap dimasukkan ke neraka—menikmati siksa iblis dan ratapan kaum berdosa.

Apalah yang ibuku mengerti. Wanita itu mengiakan perkataan ayahnya dan segera menerima lamaran seorang pria yang tinggalnya tak jauh dari desa kami.

Dari awal perjumpaan aku tak menyukai cara lelaki keling tersebut memandangku. Seolah aku bisa melihat binatang buas yang bersemayam di dalam dirinya. Di saat orang-orang sibuk menikmati jamuan prasmanan pernikahan, aku di sisi lain merasa badai akan segera menghantam hidupku.

Atau mungkin ini hanya pikiran buruk anak kecil?

***

Ibu pergi ke ladang, aku sibuk bermain boneka di ruang tamu. Tak ada seorang pun di rumah kecuali ayah tiriku yang duduk di kursi. Matanya tertuju ke layar televisi yang menampilkan deretan iklan. Aku menamai boneka beruang kumalku dengan nama “Mona”. Hanya ada dia seorang yang bersedia menjadi teman setia si bocah sembilan tahun. Awalnya aku asik menghias Mona dengan jepitan rambut hingga pria itu datang mendekatiku. Wajahnya ramah, bibirnya hitam karena terlalu banyak merokok, dan dia ingin menemaniku bermain. “Kita main yang lain, ya?” bujuknya padaku.

Aku, yang tak paham iblis dunia, hanya mengangguk.

“Bagus. Tantri, sini duduk sama Bapak.” Lelaki itu menepuk pelan pahanya, tanda bahwa ia ingin aku duduk di sana.

Si bocah kecil dengan lugunya mengikuti permainan iblis tua. Lelaki itu mengatakan bermacam hal sambil menunjuk orang-orang yang ada di layar. Aku mengangguk, tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan hingga tiba-tiba lelaki itu menyentuh bagian terintim tubuhku. “Kamu sentuh juga,” katanya sembari menunjuk miliknya.

Dan yang bisa diingat oleh si bocah kecil hanyalah suara beling pecah. Atau mungkin itu adalah kesucian yang telah hancur.

***

Aku membenci hidupku.

Aku membenci ketidakberdayaanku.

Aku membenci….

Segalanya.

***

Lelaki itu selalu menggunakan kesempatan untuk menyentuhku. Aku tak suka jemari-jemari kasar itu menjelajahi diriku. Dan aku tak suka sensasi terbakar yang kurasakan di pusat perutku setiap kali lelaki itu memuntahkan racunnya ke dalam diriku. Aku tak suka suara deru napasnya. Setiap kali iblis mendatangiku dan memintaku membakar satu dupa agar satu permohonanku terkabul.

Aku ingin kebebasan.

Dan untuk itulah aku rela menyerahkan apa pun. Tidakkah saudara tiri Cinderella bersedia memotong kakinya agar bisa mengenakan sepatu kaca milik Cinderella? Lalu, mengapa aku tak melakukan hal yang sama?

Menumbalkan diriku pada iblis neraka.

***

Ibuku suka sekali dengan sayur sop buatanku. Hari ini aku ingin menyajikan hidangan yang tak tertandingi kenikmatannya. Kucuci wortel, tomat, buncis, dan sayur lainnya sebelum kemudian kupotong rapi. Panci mulai mendidih dan segera saja kumasukkan bahan-bahan ke dalam sana.

Aku menunggu hingga masakanku benar-benar matang.

Sayang, lelaki itu kembali menghampiriku.

Tanpa izin, ia mulai mencoba menanggalkan pakaianku.

Aku diam. Kubiarkan ia berkelana ke setiap lekuk tubuhku sambil sesekali meninggalkan bekas terkutuk di setiap kulitku.

Kudengar iblis berkata, “Tantri, datanglah ke perjamuanku….”

Pisau daging tergeletak tak jauh dariku. Berbagai macam godaan iblis meracuniku. “Kenapa kau tak hias jendela ini dengan warna merah, Tantri?”

Kugenggam gagang pisau.

Seulas senyum akhrinya menghias bibirku. “Ya,” kataku. “Mengapa tidak?”

Berbalik, kuarahkan ujung pisau tepat di perut lelaki itu. Perut buncit yang berisi sampah. Sampah! Darah menggenangi lantai dapur, bahkan aku bisa melihat kilaunya saat cahaya matahari mengenai cairan kental tersebut.

Lelaki itu terseok, kedua matanya melotot.

“Ya,” kataku. “Kenapa kita tidak coba permainan yang lain?”

“Ja-jangan….”

Aku sama sekali tak peduli dengan binatang yang telah merenggut kebahagiaanku. Berkali-kali kuarahkan bilah pisau hingga tubuh lelaki itu tak lagi bergerak. Dan saat aku merasa puncak kenikmatan mengguyurku bagai air terjun, bisa kulihat ruangan yang kini terlihat begitu indah.

Warna merah melukis meja, lantai, kursi, dan….

Jendela kaca masih belum tersentuh.

Kusentuh permukaan kaca jendela dan mulai melukis.

Aku tak keberatan masuk neraka.

Cerita Horor Seorang Gadis Psikopat