-->

Cerpen : Pergi Untuk Kembali

Cerpen Islam, Cerpen : Pergi Untuk Kembali

Semua serba putih...

Maryam berdiri anggun. Dari kejauhan, dia melihat sosok David berjalan ke arahnya.

”Aku tidak bisa membawamu, Maryam. Pulanglah! I can’t go with you! (Aku tidak bisa pergi denganmu.)” Ujar David begitu sampai di hadapan Maryam.

”Why? You wanna go along with me, don’t you? (Kenapa? Kau ingin pergi bersamaku, kan?)” tanya Maryam meyakinkan.

”No. I’m sorry. I can’t. (Tidak. Maafkan aku. Aku tidak bisa.)” David menggeleng.

”Jika kau tidak ingin kehilangan aku, bawalah aku pergi bersamau, Dave. Tapi jika kau tidak mau, aku akan melupakanmu.” Maryam menegaskan kembali.

”Aku tidak bisa, Maryam. Jangan paksa aku. Jalan kita berbeda, Maryam. Aku tidak yakin kita mampu berjalan satu arah beriringan. Sekarang pulanglah!” David tetap kukuh pada keputusannya.

”But why we don’t? Tell me! Explain to me, Dave! (Mengapa tidak bisa? Beritahu aku! Jelaskan padaku, Dave!)” Maryam masih menuntut alasan.

Namun, tiiba-tiba saja David menghilang.

”David... David.... Jika memang kau tak bisa membawaku, kau tak perlu pergi meninggalkanku di sini. Kau jahat padaku, Dave. Aku harus melupakanmu. Harus!” Teriak Maryam meracau.

Di kamar rumah sakit itu, tubuh Maryam kembali bergerak.

”Maryam... Maryam...! Dokter... Dokter...!” Teriak ayah Maryam. Dokter tiba untuk memeriksa kondisi Maryam begitu Khaled memanggilnya.

”Ayah...” Maryam mulai membuka matanya pelan. Semua tegang, tak terkecuali Khaled.

”Iya, Anakku.” Wajah ayah Maryam terlihat sumringah.

”Aku tidak menginginkan David lagi. Dia tidak mau membawaku pergi. Ayah harus berjanji, setelah aku pulih, kita harus pindah ke Dubai dan aku ingin sekolah lagi di sana,” pinta Maryam terbata.

”Iya, Nak. Ayah akan penuhi permintaanmu. Ayah janji.” Diusapnya airmata yang sedari tadi menetes di pipinya. Ibu Maryam berucap syukur di sampingnya.

”Aku... Aku siap menikah dengan Khaled ketika lulus High School nanti. Aku siap, Ayah,” ujar Maryam pelan.

Khaled langsung menangis terharu mendengar pernyataan Maryam yang tiba-tiba itu. Dalam hatinya dia masih tidak percaya, mengapa Maryam tiba-tiba berubah pikiran.

***
”Maryam... Maryam....” perlahan David membuka matanya.

”Anakku, kau sadar kembali. Puji Tuhan.” Ayah David tak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya. Dia peluk anaknya dengan erat seakan tidak ingin kehilangan lagi.

”Ayah, tadi aku bertemu Maryam.. Tapi aku tidak bisa membawanya pergi. Aku tidak tahu kenapa, Ayah.” Wajah David sendu mengingat sosok Maryam.

"Jangan pikirkan Maryam lagi. Ayah mohon. Hidupmu masih panjang, Nak.” Pinta ayahnya.

”Ayah, maafkan aku. Aku merasa semakin lelah, Ayah. Sangat lelah. Aku tidak ingin merasakan cinta seperti ini lagi, Ayah. Aku ingin bebas. Aku ingin lepas dari rasa ini, Ayah. Aku hanya ingin bersamamu. Peluk aku, Ayah. Aku akan berusaha melupakan Maryam. Aku janji.”

David menyerah, walau sebenarnya hatinya masih sangat mencintai Maryam. Dia menyadari bahwa cinta yang dia rasakan saat itu begitu menyiksa dirinya. Rushel memeluk putranya itu dengan erat. David merasakan kehangatan, dia merasa nyaman dalam dekapan ayahnya. Sementara itu, Rushel, ayahnya tergugu haru. Hampir saja dia kehilangan David untuk selama-lamanya. Namun Tuhan masih menginginkannya untuk bernafas, hingga dia merasa harus memuji kebesaran Tuhannya, bersyukur atas keajaiban yang baru saja dialaminya. Sungguh saat ini dia masih belum siap jika harus kehilangan David di sisinya.

***
Bulan Desember itu, salju-salju mulai beterbangan memutihkan kota New York. Maryam dan keluarganya berkemas untuk pindah ke Dubai, ayahnya terpaksa mengundurkan diri menjadi duta besar Uni Emirat Arab. Bagi ayahnya, Maryam adalah segalanya. Dia tidak mau gagal lagi mendidik anaknya. Kini yang ia punya hanya Maryam.

Maryam memeluk erat kucingnya, Zahara. Dia sudah selesai berkemas. Dipeluknya Anggel yang saat itu mendampinginya. Ya, Anggel sengaja menyempatkan diri untuk menemui sahabatnya itu untuk yang terakhir kali, sebelum mereka berpisah selamanya.

Sebuah mobil sedan hitam sudah siap mengantar Maryam dan keluarganya ke Bandara. Maryam berjalan ke arah mobil sedan itu dengan langkah gontai. Dia melihat rumahnya sekali lagi, matanya berair. Tanpa membuang waktu, dia langsung memasuki mobilnya. Ayah dan ibunya, yang berjalan di belakangnya, memperhatikan Maryam dengan sedih. Kepindahan mereka ke Dubai murni karena keinginan Maryam.

***
Jardon duduk di samping David yang sedang berdoa menghadap Tuhannya. Bangku-bangku gereja terlihat kosong, hanya ada mereka berdua.

”Dave, are you sure you don’t want to meet Maryam for the last time? She’s gonna go and won’t come back again here. This is your last chance to see her, Dave. (Dave, apa kau yakin tidak ingin menemui Maryam untuk yang terakhir kalinya? Dia akan pergi dan tidak akan kembali ke sini. Ini kesempatan terakhirmu untuk melihatnya, Dave.)” Jardon menanyakan kembali keputusan David.

”Aku masih mencintainya, Jardon. Tapi, betapapun aku berusaha keras, aku tidak akan bisa memilikinya. Sungguh, sebenarnya aku ingin sekali menemuinya, tapi untuk apa?” ada nada pasrah dalam ucapan David.

”Untuk... Persahabatan, mungkin? Ya, sekedar untuk persahabatan tidak ada salahnya, bukan? Temuilah, Dave! Hari ini dia akan pergi.” Jardon membujuknya.

”Aku tidak ingin kau menyesal nantinya. Mind my words, Dave! (Camkan kata-kataku, Dave!)” Ujar Jardon lagi. Kali ini dia benar-benar serius.

Mata David berkaca-kaca. Hatinya berkecamuk. Serta-merta, dia berlari meninggalkan Jardon. David mengambil sepedanya dan segera ia kayuh kencang-kencang. Tak dihiraukannya tubuhnya yang menggigil karena dihujani salju. Yang dia pikirkan hanya satu, Maryam. Ya, dia harus menemui Maryam.
***
Anggel melambaikan tangannya saat sedan hitam itu melaju pelan meninggalkan rumah Maryam. Tak ayal, Anggel menangis sedih. Dia baru saja memiliki sahabat baru, tapi sesaat dia harus kehilangan.

Maryam tak kalah sedih. Dari balik kaca mobilnya, dia terus memandangi Anggel yang semakin menjauh, seakan masih belum puas melihat sahabatnya untuk yang terakhir kalinya. Entah kenapa ia ingin sekali mengurungkan niatnya untuk pergi, namun semua sudah terlambat.

Khaled yang saat itu berada satu mobil dengannya hanya bisa terdiam. Dia diam-diam memperhatikan Maryam dari pantulan kaca mobil.

***
”Itu mobilnya, Dave! Kejarlah jika kau ingin mengucapkan kata terakhir pada Maryam!” Ucap Anggel terburu begitu mendapati David tiba sesaat setelah mobil Maryam berangkat.
David terus mengayuh sepedanya sekencang mungkin.

”Maryam.... Maryam.... Maryam....!” Teriak David. Dengan sisa tenaganya, dia mengejar mobil itu dengan kayuhan sepeda balapnya.

”Maryam....Berhenti...! Maryam...Berhenti...!” Teriak David lagi.

Maryam pias begitu melihat sosok David berada di belakang, berusaha mengejar mobilnya.

”Kemudikan mobil ini cepat-cepat, Pak!” Pinta Maryam pada sopir keluarga itu. Dihapusnya sisa airmata yang masih menggenangi pipinya.

Khaled merasa iba saat mengetahui David begitu gigih ingin menemui Maryam untuk terakhir kalinya. Sementara ayah dan ibu Maryam tak kalah pias. Namun mereka lebih memilih diam, tak tahu harus berbuat apa.

”Maryam... Aku mohon... Aku ingin bicara sekali lagi... Untuk yang terakhir kalinya...!” Teriak David.

”Stop the car! (Hentikan mobilnya!)” Ayah Maryam menyuruh menghentikan mobilnya dan kemudian berujar pada Maryam, ”Turunlah, Nak. Temui dia untuk yang terakhir kalinya.”

Saat mengetahui mobil itu berhenti, David langsung menghempaskan sepedanya. Dia berlari menuju mobil itu. Sesaat kemudian Maryam turun dari mobil.

”Maryam.... Maryam... Maryam...!” Teriak David menghampiri. Maryam berjalan beberapa senti mendekati David, namun kemudian berdiri terpaku di tempatnya.

Mereka sama-sama terpaku di tempatnya masing-masing, tepat tigapuluh centi jarak mereka.

”Kita tak akan pernah saling bersentuhan, kan? Karena butuh empat puluh tahun bagi Tuhanmu untuk mengampuni kita,” ucap David memecah keheningan di antara mereka berdua.

”Aku... Aku masih mencintaimu, Dave. Tapi aku harus pergi agar kisah ini berakhir, karena aku tahu selamanya kita tidak akan bersatu. Kita berbeda. Kita tidak akan pernah bisa disatukan.” Bibir Maryam bergetar.

”Aku tahu. Cinta kita mungkin salah, Maryam, tapi Tuhan telah menumbuhkan cinta ini begitu dalam padamu. Aku akan mencoba mengerti dan menerima bahwa kita tidak bisa bersatu. Meski kau akan pergi meninggalkan aku, aku akan tetap mencintaimu, Maryam. Aku tidak akan menghilangkan rasa cinta ini. Sekarang pergilah. Yang penting Tuhan masih mencintai kita, masih bersama kita.” David menitikkan airmata.

”Ya, yang terpenting Tuhan masih mencintai kita.” Maryam mengulang ucapan David, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

”Pergilah Maryam. Aku sudah rela melepasmu. Pergilah!” Ujar David.

Maryam masih terdiam.

”Pergilah. Kalau kau tidak mau kembali ke mobilmu, aku yang akan pergi dulu.”

David berbalik membelakangi Maryam dan berjalan menuju sepedanya. Maryam masih terpaku menahan gigil dan airmata yang terus menganak sungai.

David mengayuh sepedanya kuat-kuat, meninggalkan Maryam, menembus rintikan salju yang semakin tebal, menusuk tulangnya.

”Tidak apa cinta kita tak bisa menyatu, Maryam. Yang penting Tuhan masih mencintai kita,” bisik hati David.

Cerpen : Pergi Untuk Kembali