-->

Cerpen : Tell Your Father, I Am Moslem





Story Moslem


”Bapa, saya ingin menemui David, dan saya ingin Bapa ikut bersama saya.” Di tengah isak tangisnya, Maryam berujar.

”Bapa tidak bisa ikut denganmu. Pergilah dan temui dia. Kau bisa memakai mobil Bapa. Sampaikan salam Bapa pada David, bilang padanya untuk berkunjung ke sini karena ayah angkatnya begitu merindukannya.”
”Sekarang kau juga anakku, Maryam,” lanjutnya lagi.

”Terima kasih atas kebaikanmu, Bapa.” Maryam menunduk dengan takzim, meminta izin untuk segera undur diri dari kediaman pastur itu dan segera mencari alamat David.

Saat Maryam hendak membuka pintu mobil, Pinokio, Anjing kesayangan David, menyalak seakan menuntut perhatian Maryam.

”Bawalah Pinokio bersamamu, Maryam. Dia sudah sangat rindu pada David,” ucap Pastur itu. Maryam pun akhirnya membawa serta anjing itu bersamanya.

Maryam melaju kencang menembus kota New York bersama Pinokio di bangku belakang mobil. Anjing itu melongok ke luar Jendela sambil menjulurkan lidahnya. Mungkin dia tidak sabar untuk segera bertemu dengan tuannya.

Maryam juga sudah tidak sabar ingin menemui cinta pertamanya itu. Berjam-jam Maryam dan Pinokio menjelajahi tiap jengkal negera bagian itu, sampai akhirnya tibalah Maryam di tempat yang sama seperti yang tertera di alamat yang dia peroleh dari Ayah David. Maryam memutuskan untuk bertanya pada penduduk setempat tentang alamat yang dia bawa. Seseorang memberi arahan, Maryam pun kembali melaju.

Di ujung sebuah ladang pertanian sayur-mayur dan buah-buahan yang luas, Maryam melihat sebuah rumah yang berdiri cukup megah. Maryam sedikit memicingkan mata, menajamkan penglihatannya ke depan. Dia terus mengemudikan mobilnya cukup pelan karena jalanannya yang berbatu. Dia memutuskan untuk menghentikan laju mobilnya di depan rumah itu.

Bersama Pinokio yang berjalan mendahului, Maryam berjalan menuju rumah itu. Di samping rumah itu berdiri sebuah bangunan berkubah tanpa dinding, hanya ada tiang-tiang yang menopangnya. Maryam melihat ada banyak anak kecil di dalamnya tengah duduk rapi membaca sesuatu. Semakin Maryam mendekati bangunan itu, sayup-sayup Maryam mendengar seperti ayat-ayat Al-qur’an sedang dilantunkan.

Ada seorang lelaki mengenakan kemeja putih dan penutup kepala bewarna senada tengah duduk bersimpuh di tengah anak-anak kecil itu. Pinokio tiba-tiba menyalak dengan keras, membuat pandangan anak-anak kecil dalam bangunan itu terarah padanya. Lelaki berkemeja putih itu seketika berdiri, dia nampak terkejut melihat Maryam dan Pinokio berada di hadapannya.

”David...” Maryam terbata. Ia seakan tidak percaya dengan sosok yang sedang berdiri di hadapannya.

”Dave, are you..” belum sempat Maryam menyelesaikan kalimatnya, David tersenyum dan mengangguk padanya.

”Assalamu’alaikum. How are you, Maryam? (Apa kabarmu, Maryam?)”

”Waalaikumussalam. You’re a moslem, Dave! (Kau Muslim, Dave!)” Maryam benar-benar terperangah saat mendengar David mengucapkan salam padanya. Ia seakan masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang sedang dialaminya.

Pinokio menghampiri David, David mendekatinya dengan posisi duduk.

”Pinokio, aku merindukanmu, tapi kali ini aku tidak bisa lagi sembarangan memelukmu. Bukan aku membencimu, tapi karena aku harus menjaga liurmu agar tidak terkena tubuhku. Kau tidak akan marah, kan?” David mengajak bicara anjingnya, namun hanya ditanggapi dengan salakan.

”Maryam, where is Khaled, anyway? (Maryam, ngomong-ngomong, di mana Khaled?)” tanya David.
Maryam terdiam. Belum sempat ia bicara, tiba-tiba seorang anak kecil berlari-lari menuju ke arah mereka.

”Daddy.. Daddy.. Grandma calls you.. (Ayah.. Ayah.. Nenek memanggilmu..)” Ucap anak kecil itu sedikit terengah.

Maryam terkejut saat dia mendengar anak kecil itu memanggil David dengan panggilan Daddy.

”Kau sudah menikah, Dave?” ada sedikit kekecewaan yang coba Maryam sembunyikan dari David.

”Kau belum menjawab pertanyaanku, Maryam,” ucap David lagi.

”Panjang ceritanya, Dave.” Maryam memalingkan wajahnya dari pandangan David.

”Okey, fine. You must be tired. let’s get in to my house! (Baiklah. Kau pasti lelah. Mari masuk ke rumahku!)” David mengajak Maryam menuju rumahnya.

”Mom, I have a beautiful guest for you! (Ma, Aku ada tamu cantik untukmu!)” Ujar David begitu sampai di pintu rumahnya.

Seorang ibu tua berjilbab tiba-tiba muncul, ia terperangah saat melihat Maryam.

”Subhanallah.. Who is she, Dave? You’re right, she’s such a beautiful girl. (Siapa dia, Dave? Kau benar, dia benar-benar gadis cantik.)” Ibu itu tersenyum penuh arti pada Maryam.

”Maryam, this is my mom. (Maryam, ini ibuku.)” David memperkenalkan ibunya pada Maryam.
Maryam menyalami ibu David. Wanita itu mempersilakannya untuk duduk.

”Maaf, saya tak bisa lama-lama berada di sini. Besok saya harus bertugas lagi. Saya harus segera pulang.” Maryam berusaha mengelak. Sebenarnya Maryam masih ingin bersama David, namun setelah dia mengetahui bahwa David sudah memiliki anak, ia merasa tidak nyaman berada di situ.

”Istirahat di sini dulu, jangan buru-buru. Kau pasti datang dari jauh, bukan?” pinta Ibu David pada Maryam.

”Tidak, Bu. Saya ucapkan terima kasih atas tawarannya, tapi saya harus segera pulang. Saya hanya ingin mengantarkan Pinokio dan menyampaikan salam dari ayah angkat David.” Dengan sopan Maryam menolak tawaran ibu David.

”Dave, ayah angkatmu bilang bahwa ia sangat merindukanmu, dan ingin kau mengunjunginya sesekali.” Maryam beralih pada David.

”Saya pamit sekarang. Assalamu’alaikum.” Maryam menjabat tangan ibu David sekali lagi lalu beranjak pergi meninggalkan rumah itu.

”Maryam, kau belum cerita tentang suamimu.” David berusaha menjegal langkahnya dengan pertanyaan.
Langkah Maryam terhenti, David menjajarinya.

”Aku memang menikah dengannya, Dave. Aku mengajukan satu permohonan padanya untuk tidak menyentuhku sebelum aku bisa melupakan seseorang, tapi nyatanya aku belum bisa melakukannya. Dia memutuskan untuk menceraikanku.”

Maryam menghela nafas sejenak. ”I gotta go now (Aku harus pergi sekarang),” sambungnya lagi, sambil langsung berbalik meninggalkan David.

”Maryam... Maryam, maukah kau menikah denganku? Kau bisa bilang pada ayahmu bahwa aku sekarang seorang muslim. Bukan karena orang tuaku muslim, bukan karena cinta untuk mendapatkanmu, tapi karena hatiku telah mantap memilihnya.” Ditatapnya wajah Maryam yang menunduk dalam.

”Aku masih mencintaimu, Dave. Aku tidak bisa melupakanmu. Demi Allah.” Suara Maryam bergetar, kemudian melanjutkan, ”Jika kau memang ingin menjadikanku sebagai istrimu, aku siap saat ini juga.”
David luruh dalam haru.

”Sampai detik ini aku masih belum memilih wanita lain selain kamu, Maryam. Aku selalu berharap Allah memberikanmu untukku. Aku pun masih menyimpan cinta untukmu,” ucapnya nyaris tersedu.
Pertemuan hari itu berujung mengharukan.

***
”Ayah, seorang pemuda muslim Amerika melamarku. Ia dan keluarganya ingin ke Dubai untuk menemuimu. Apakah ayah merestuinya?” Maryam menghubungi ayahnya.

”Pemuda muslim Amerika, Nak? Siapapun itu, ayah merestuinya. Jangan suruh mereka ke sini, biar ayah dan ibu ke sana.” Ayahnya terdengar begitu bahagia.

Ayah dan ibu Maryam datang ke tempat David. Maryam telah lebih dulu berada di sana. Hari itu, ayahnya membawa serta Zahara dalam dekapannya.

”Ayah... Ibu....” sambutnya riang.

”Kau baik-baik saja di sini, Nak?” sang ibu membelai pipi Maryam lembut.

”I’m fine, Mom,” jawabnya tersenyum.

”Mana pemuda yang ingin melamarmu, Nak?” tanya ayah Maryam.

Saat itu David muncul di antara mereka bertiga. Ayahnya terperangah memperhatikan David yang terlihat sama sekali berbeda. Penampilannya begitu dewasa dengan gamis yang tersulur sampai mata kakinya.

”Assalamu’alaikum..” ujar David sembari menunduk penuh takzim. Raut wajah ayah dan ibu Maryam semakin memperlihatkan keheranan.

”Waalaikumussalam. David.. Is it really you? You..” Ayah Maryam terbata, seakan masih bingung harus bicara apa. Ibu Maryam merangkul putrinya, menyalurkan energi bahagia. Sementara David hanya menjawabnya dengan tersenyum.

***
Bulan itu, sebuah pernikahan tengah dilangsungkan di sebuah area ladang pertanian milik David. Maryam begitu anggun di balik gaun pengantinnya. Beberapa keluarga Maryam dari Dubai khusus hadir untuk meramaikan. Anggel dan Jardon pun terlihat hadir bersama.

David menangis terharu saat ayah angkatnya datang bersama para biarawan. Dipeluknya raga yang sudah mulai renta itu. David mencium telapak kakinya dengan penuh rasa penghormatan yang mendalam.

”Bagaimanapun kau tetap anakku, Dave. Ayah akan tetap menyayangimu. Ayah sama sekali tak punya hak untuk menentukan keyakinanmu. Doa ayah akan selalu menyertaimu. Semoga pernikahan kalian diberkahi Tuhan.” Pastur itu menangis dalam dekapan David.

”Terima kasih, Ayah. Terima kasih atas dukungan ayah selama ini. Meski kita berbeda keyakinan, aku masih wajib menghormatimu, karena kau ayah angkatku. Bagaimanapun juga ayahlah yang merawatku sejak kecil. I love you so much, Dad.” David tergugu.

”Hanya satu permintaan ayah, jangan kau lupakan ayah. Datanglah sesering mungkin ke gereja untuk mengunjungi ayah. Ayah tidak ingin kau meninggalkan ayah, Nak.”

Mereka berdua larut dalam keharuan.

***
Pernikahan pun berlangsung, ijab kabul pun sudah diikrarkan. Maryam menangis deras saat bisa menyentuh tangan David dan menciumnya. Begitu juga dengan David yang tak kalah haru. Maryam terduduk malu saat David menatapnya begitu dekat.

”Maryam, bolehkah aku memelukmu? Aku hanya ingin memelukmu malam ini, memelukmu sampai pagi. Aku ingin melepaskan semua kesedihan cinta yang kualami selama ini bersamamu, Maryam.” David berbisik lirih di telinga Maryam.

Maryam mengangkat wajahnya, menghadapkannya tepat di wajah David. Kini mereka saling menatap.

”Sekarang tidak butuh empat puluh tahun lagi bagi Tuhan untuk menghapus dosa kita, Dave. Allah bahkan akan memberikan pahala di setiap jengkal kau menyentuhku. Aku ikhlas menyerahkan seluruh jiwa dan ragaku padamu, Dave, Suamiku.”

David serta merta mendekap Maryam erat. Maryam meletakkan kepalanya di dada David. Suasana haru penuh cinta menyeruak dari dalam kamar pengantin. David dan Maryam tak henti mengucap hamdalah. Hati mereka bersahutan menyenandungkan kidung cinta.

TAMAT

Cerpen : Tell Your Father, I Am Moslem